Jakarta, Aktual.com – Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham menjalani pemeriksaan selama 12 jam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus suap kesepakatan kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Keluar dari Gedung KPK, Idrus pun tampak irit bicara terkait proses pemeriksaannya. Kepada awak media, ia hanya menekankan pada lamanya yang digunakan untuk pemeriksaan ini.

Menurut Idrus, ia memang sengaja meminta kepada KPK untuk menuntaskan pemeriksaan ini dalam satu waktu agar tidak mengalami proses pemeriksaan yang berulang-ulang.

“Dan karena itu saya juga berterima kasih kepada penyidik karena melayani saya dalam rangka melengkapi keterangan yang diperlukan terkait tersangka Saudara Kotjo dan Eni,” kata Idrus di gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/8).

KPK memeriksa Idrus, saat ini sebagai Menteri Sosial itu sebagai saksi untuk tersangka Eni Maulani Saragih (EMS) yang merupakan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar.

Selain itu, KPK juga telah menetapkan Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) yang merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited sebagai tersangka dalam kasus itu.

“Karena itu cukup lama, saya katakan kalau bisa diselesaikan akan lebih bagus dan sekali lagi terima kasih kepada penyidik karena sampai jam berapa pun mau katanya pak Idrus siap. Saya katakan saya siap dan kalau bisa kita selesaikan,” ujarnya pula.

Dikonfirmasi materi pemeriksaan, ia pun enggan menjelaskan lebih lanjut.

“Kalau masalah substansi biar penyidik saja kan tidak bagus saya sampaikan, biarlah penyidik,” ujar Idrus.

Dalam pemeriksaan Idrus kali ini, KPK mengkonfirmasi terkait pertemuan-pertemuan pembahasan proyek pembangunan PLTU Riau-1. Ia juga enggan menjelaskan lebih lanjut apakah dirinya juga pernah terlibat dalam pertemuan tersebut.

“Pokoknya semuanya yang terkait yang saya ketahui sudah saya jelaskan semua. Kalau mau tanya penyidik,” kata dia.

Sebelumnya, Idrus juga telah diperiksa KPK pada 19 Juli dan 26 Juli 2018 lalu.

KPK telah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen “fee” sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari Johannes kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 Rp300 juta.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

Adapun peran Eni adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan