Jakarta, Aktual.com – Sengketa saham PT Aryaputra Teguharta (APT) sebesar 32,32 persen di PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) hingga kini masih berlanjut.

Padahal sudah dikuatkan oleh Putusan PK 240/2006 yang menyebutkan gugatan APT atas perbuatan BFI sebagai emiten di 2001 secara ilegal telah mengalihkan 32,32 persen saham BFI yang memang milik APT.

Namun hingga kini, menurut kuasa hukum APT dari HHR Lawyers, Pheo Hutabarat, keputusan hukum tetap itu tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Sehingga implikasinya bukan saja menghancurkan kondisi pasar modal, tapi juga membuat sektor ini rentan dipermainkan oleh ‘mafia’ investor berkedok internasional.

“Dengan begitu secara yuridis konsorsium Trinugraha yang dipimpin Garibaldi (Boy) Thohir di 2001 telah menggelontorkan dana ratusan juta dollar AS untuk membeli saham agar menjadi pemegang saham pengendali di BFI. Itu bentuk pembeli saham beritikad buruk atau bahkan sebagai penadah,” kata Pheo di Jakarta, Senin (20/8).

Pasalnya bagi Pheo, mana mungkin ada investor kredibel mau menggelontorkan nilai sebanyak itu dari uangnya sendiri untuk membeli perusahaan yang sahamnya dalam sengketa.

“Apalagi investor itu main tabrak tidak mau peduli dengan risiko hukum berupa putusan pengadilan inkracht yang dapat merugikannya nanti saat ia menjadi pemegang saham,” katanya.

Seperti diketahui, putusan inkracht PK 240/2006 ity memutuskan APT adalah pemilik sah (lawful owner) atas 32,32% sahan di BFI.

Dan pengadilan juga menghukum BFI, Francis Lay Sioe (Presiden Direktur BFI -menjabat hinggi kini), Cornelius Henry (Komisaris BFI -hingga kini) dan Yan Peter Wangkar (pengurus BFI lama) sebagai pihak yang bertanggung jawab akibat beralihnya saham-saham APT secara ilegal.

“Karenanya mereka dihukum pengadilan untuk wajib menyerahkan kembali 32,32% saham milik APT yang raib secara ilegal lantaran tindakan mereka tersebut,” ujarnya.

Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator dan wasit di pasar modal, diminta tidak ragu melihat bahwa Putusan PK tersebut jelas menegaskan APT sebagai pemilik sah 32,32% saham di BFI.

“Mohon OJK dan BEI bisa secara objektif menilik perkara kepemilikan saham APT ini. Karena sesungguhnya hal ini terkait dengan masalah fundamental dari industri pasal modal yaitu pentingnya penegakan dan perlindungan hukum atas kepemilikan saham,” tegas Pheo.

Menurutnya, di seluruh dunia yang memiliki bursa efek, perlindungan pemilik saham ditegakkan tanpa pandang bulu. Kalau tidak, maka industri pasar modal bukan saja jadi tidak kredibel, tapi juga dampaknya akan terjadi kekacauan hukum (chaos).

“Ini (kepemilikan saham APT) sebagai fakta hukum. Jika kedudukan APT tak diakui BFI dkk, sebagai pihak yang dihukum, dan di lain pihak APT tetap meminta perlindungan hukum melalui gugatan dan proses hukum lebih lanjut, berarti ada hal yang tak benar dengan BFI,” tutur dia.

Melalui gugatan administrasi yang didaftarkan APT pada Mei 2018 lalu di PTUN Jakarta, kata dia, PTUN telah membekukan sementara keberlakuan dari 10 pengesahan terhadap anggaran dasar BFI yang sebelumnya diberikan Menkumham.

“Berarti secara hukum AD BFI yang berlaku efektif dan terdaftar di Menkumham adalah anggaran dasar BFI sebelum terjadinya pengalihan ilegal di 2001, dimana saat itu APT pemilik sah atas 32,32% saham itu,” pungkas Pheo.

Artikel ini ditulis oleh: