Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo meyampaikan sambutan saat persemian Klinik Elektronik Laporan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (e-LHKPN) di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2). Program kerjasama DPR dan KPK membentuk klinik e-LHKPN untuk mempermudah anggota DPR mengisi dan memperbaharui LHKPN. Pengisian LHKPN menggunakan system online. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – KPK segera mengumumkan status mantan Menteri Sosial Idrus Marham dalam perkara dugaan suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

“Kami sebenarnya kedahuluan, jadi nanti sebenarnya bu Basaria akan ada konpers. Kami sebenarnya merencanakannya belum hari ini, sebetulnya tapi kok sudah beredar di luar seperti itu. Jadi saya hanya mengklarifikasi akan ada konpers hari ini,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Jumat (24/8).

Siang ini, Idrus Marham menyatakan mengundurkan diri sebagai Menteri Sosial karena sudah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari KPK.

“Oleh karena itu kami akan berunding lagi karena di situ kan ada alasannya kenapa, pasal yang mana. Biarkan nanti yang mengumumkan mengenai status Pak Idrus Marham. Insya Allah hari ini,” tambah Agus.

Idrus dalam perkara ini sudah tiga kali diperiksa sebagai saksi yaitu pada 19 Juli, 26 Juli dan 15 Agustus 2018.

“Ada lebih dari 25 saksi yang sudah kami panggil dan diperiksa. Pak Idrus sudah 2 atau 3 kali kami periksa sebagai saksi. Ini bukan peningkatan status atau tidak, status hukum kalau dalam penyidikan baru bisa kami sampaikan dalam pengumuman resmi,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Namun, Febri mengakui bahwa sesuai aturan, KPK mengirimkan SPDP ke tersangka suatu kasus yang ditanganinya.

“Memang ada kewajiban hukum yang selalu dilakukan KPK kalau ada proses penyidikan yang dilakukan maka akan ada surat pemberitahuan pada pihak terkait yang dan punya kewenangan relevan. Isi SPDP saya belum tahu persisnya karena saya tidak melihat surat itu,” ungkap Febri.

Idrus di Istana kepresidenan mengatakan bahwa ia menerima SPDP Kamis (23/8) sore.

“Saya lebih cepat lebih bagus, supaya jangan ada lagi interpretasi-interprestasi lain dan keyakinan saya yang namanya jabatan itu memang urusan Allah, ya kapan saja. Kalau bukan jabatan meninggalkan kita, kita-kita yang tinggalkan jabatan itu,” ucap Idrus.

Idrus pun mengaku ia siap menghadapi tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya.

“Kita harus memberikan contoh kepada rakyat dan saya siap menghadapi semuanya. Saya siap menghadapi semua, apapun, misalkan, tuduhan-tuduhan, ya silakan ke mereka. Kita serahkan kepada KPK, kita hormati langkah KPK,” tambah Idrus.

KPK sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK sudah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu yaitu uang Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari “commitment fee” sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Sebelumnya Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).

PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.

Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: