Sejumlah masyarakat mengenakan kaus #2019GantiPresiden di Car Free Day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/4/18). Kaus dan atribut lain dipakai masyarakat untuk olahraga. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’aruf Amin, Maman Imanulhaq, menuding gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi organisasi massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dilarang di Indonesia. Maman juga menuding, kelompok ini bukan cuma ingin mengganti presiden, tapi juga ideologi bangsa.

“Deklarasi #2019GantiPresiden ditunggangi oleh Kelompok HTI yang jelas HTI merupakan ormas terlarang,” kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini di Jakarta, ditulis Senin (3/9).

Sementara, Pengamat politik dan peneliti Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie menilai, pada dasarnya HTI dan PKS memiliki kesamaan. Bahkan, bisa dikatakan HTI merupakan salah satu kader pendukung untuk operasional kampanye PKS.

“Pada dasarnya HTI memang kader mereka (PKS), jadi semua kemungkinan itu, bahwa gerakan #2019GantiPresiden memiliki korelasi dengan HTI juga benar adanya,” ujar Jerry.

Jerry menjelaskan, sebagai kelompok yang menginginkan pergantian kekuasaan, dan ingin menggolkan faham dan ajaran mereka, maka HTI tetap harus menempel di partai. Pilihan paling mungkin di partai pengusung Prabowo, yakni PKS yang memiliki kesamaan basis gerakan.

Menurut Jerry, dalam kasus #2019GantiPresiden terkesan memaksakan dan terburu-buru. Padahal momen kampanye juga belum berjalan.

“Bisa terjadi chaos apalagi dilakukan terbuka,” kata dia.

Direktur Eksekutif Y-Publica Rudi Hartono mengatakan, jumlah masyarakat yang tidak setuju gerakan ganti presiden semakin meningkat.

“Responden yang tidak mendukung gerakan ini naik dari 67,3 persen pada Mei 2018 menjadi 68,6 persen sekarang,” kata Rudi.

Dia mengatakan persepsi publik terhadap gerakan ini cukup kritis. Sebanyak 28,3 persen responden yang mengetahui gerakan itu menganggap #2019GantiPresiden sebagai gerakan bermuatan politik.

Sementara 25 persen lainnya menganggap itu sebagai kampanye politik sebelum pemilu. Setelah deklarasi calon presiden dan wakil presiden, sebanyak 75,6 persen responden menganggap gerakan itu bukan lagi sebagai ekspresi kebebasan berpendapat.

Sebanyak 13,6 persen responden bahkan menganggap gerakan #2019GantiPresiden mengarah pada makar. Hanya 8,4 persen yang menilai gerakan tersebut sebagai bentuk protes atau ketidakpuasan terhadap pemerintah.

Rudi menuturkan, masyarakat bersikap kritis terhadap gerakan ini lantaran kerap membawa isu sektarian dan terang-terangan ditunggangi elite politik tertentu.

Artikel ini ditulis oleh: