Jakarta, Aktual.com – Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, sangat menyayangkan karena pihaknya justru menjadi sasaran tembak dalam polemik caleg koruptor.

Menurutnya, Bawaslu justru mendapat banyak serangan dari pihak lain lantaran dianggap mendukung koruptor untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2019.

Padahal, kata Bagja, Bawaslu hanya melakukan hal yang diatur dalam undang-undang. Sebab, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu justru tidak melarang mantan narapidana korupsi untuk maju dalam pesta demokrasi tahun depan.

Dengan demikian, Peraturan KPU (PKPU) 20/2018 yang melarang mantan napi korupsi menjadi bakal caleg (Bacaleg). Hal ini, kata Bagja, pun sudah diakui oleh KPU.

“Diakui KPU dasar pasal PKPU yang dijadikan rujukan SK KPU tak didasarkan UU. Karena semangat moril. Tanpa rujukan UU,” ujar Bagja dalam pesan singkatnya kepada wartawan, Jumat (7/9).

Bagja menerangkan, berdasar sudut pandang hukum, jika terdapat dua aturan resmi yang bertentangan, maka yang dipilih adalah aturan yang lebih tinggi. Hal ini, jelasnya, mengacu pada asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori.

“Menurut kaidah hukum jika terjadi dua aturan yang sah dan berlaku bertentangan maka diharuskan memilih yang lebih tinggi yaitu UU,” kata dia.

Analisa hukum itu menjadi dasar Bawaslu dan Panwaslu mengabulkan permohonan sengketa yang diajukan mantan koruptor, karena dinyatakan tidak memenuhi syarat mendaftarkan diri sebagai bacaleg.

Adapun yang menjadi dasar gugatan adalah Surat Keputusan (SK) KPU mengenai Daftar Calon Sementara (DCS). Sehingga, Bagja menjelaskan, Bawaslu membatalkan SK KPU itu bukan PKPU 20/2018.

Bagja menambahkan, yang dibatalkan Bawaslu adalah SK KPU yang didasari atas pertimbangan yang tidak tepat. Menurutnya, SK KPU yang berdasar PKPU 20/2018 harus dibatalkan karena bertentangan dengan UU Pemilu.

“Ada misleading informasi yang menyatakan Bawaslu membatalkan PKPU,” tegasnya.

Namun, analisa hukum itu, dianggap oleh sejumlah pihak termasuk upaya Bawaslu RI mendukung mantan koruptor. Sehingga, lembaga penyelenggara pemilu itu menjadi sasaran ‘serangan’ para pihak yang menyatakan perang terhadap korupsi.

“Kan harus berhenti berpolemik. Kami berhenti berpolemik kok diserang terus,” tambahnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan