Jakarta, Aktual.com – Komisi Yudisial (KY) kembali membuka pendaftaran calon hakim agung (CHA) tahun 2018, untuk memenuhi kebutuhan di lingkungan Mahkamah Agung (MA).

Pembukaan pendaftaran untuk calon hakim agung, dilakukan berdasarkan permohonan dari MA, untuk mengisi kekosongan delapan jabatan hakim agung.

Dari delapan jabatan hakim agung yang diminta MA, satu hakim dibutuhkan untuk kamar pidana menggantikan Artidjo Alkostar, satu hakim untuk kamar agama menggantikan Muchtar Zamzani, tiga hakim untuk kamar perdata, satu hakim untuk kamar tata usaha negara khusus pajak, dan dua hakim untuk kamar militer, serta salah satu lowongan CHA yang untuk kamar militer dibutuhkan untuk menggantikan Gayus Lumbuun.

KY mengatakan dalam penerimaan CHA ini, KY juga memberikan kesempatan kepada MA, pemerintah, dan masyarakat untuk mengajukan CHA yang memenuhi persyaratan.

Proses pengajuan usulan sendiri dibuka selama 15 hari, mulai tanggal 15 Agustus hingga 6 September 2018.

Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Aidul Fitriciada Azhari mengatakan KY akan tetap menekankan pada aspek kapasitas dan integritas calon dalam seleksi dan rekrutmen CHA.

“Hal ini penting mengingat hakim agung merupakan jabatan mulia, yang berperan penting dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan agung,” kata Aidul.

Problem Rekrutmen

Meskipun KY sudah melakukan seleksi CHA sejak tahun 2006, namun masih terdapat sejumlah permasalahan yang sedikit banyak menghambat munculnya calon yang berkualitas.

Mantan Hakim Konstitusi Harjono mengatakan salah satu persoalan dalam rekrutmen dan seleksi CHA adalah kurangnya sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kapabilitas, namun juga harus memiliki integritas untuk menjabat sebagai hakim agung.

Kekurangan sumber daya manusia ini kemudian menimbulkan berbagai implikasi.

Salah satu pihak yang dinilai Harjono bertanggung jawab akan kurangnya sumber daya manusia dengan kapabilitas serta integritas sebagai calon hakim agung adalah seluruh fakultas hukum di Indonesia.

Fakultas hukum di perguruan tinggi manapun, adalah salah satu tempat yang mampu mencetak sumber daya manusia sebagai calon hakim yang tidak hanya memiliki kapabilitas namun juga integritas.

Problem lain dalam rekrutmen dan seleksi CHA adalah belum tersedianya mekanisme atau prosedur rekrutmen yang secara normatif diatur dalam undang-undang sehingga rekrutmen hakim agung dinilai dan dilakukan sama seperti seleksi.

“Padahal substansi antara rekrutmen dan seleksi ini berbeda, apalagi untuk kepentingan mencari dan menemukan hakim agung,” ujar Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015 Suparman Marzuki.

Suparman memaknai rekrutmen sebagai seleksi substansial atau materiil tentang mutu manusia yang akan menjadi calon hakim agung yang memang layak untuk diseleksi.

Rekrutmen ini kemudian menjadi tahapan penting yang tidak bisa dipisahkan dengan seleksi karena seleksi atas manusia-manusia bermutu akan menghasilkan calon-calon bermutu.

“Sebaliknya, jika yang diseleksi adalah sumber daya manusia tidak bermutu, pasti akan menghasilkan manusia tidak bermutu juga,” ujar Suparman.

Dalam proses rekrutmen calon hakim agung, masih banyak rekomendasi yang dinilai Suparman belum berjalan baik.

Hal ini dikarenakan masih banyak calon-calon yang mengajukan dirinya sendiri. Tidak jarang juga ditemukan “job seeker” dalam proses pendaftaran CHA, di mana kandidat CHA yang pernah mendaftar dan tidak lolos kembali mendaftar pada rekrutmen selanjutnya.

“Sementara untuk calon dari jalur hakim nonkarir, rekomendasi jarang sekali diterima KY. Baik dari perguruan tinggi, organisasi profesi hukum, dan lembaga swadaya masyarakat tidak pernah aktif mencari dan mengajukan calon,” kata Suparman.

Hal serupa juga dikatakan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2001-2008 Bagir Manan yang berpendapat seharusnya KY tidak membuka pendaftaran CHA, karena menurut Bagir jabatan hakim agung seharusnya tidak menerima pelamar.

“Ketika saya masih pegawai MA, saya tidak membenarkan CHA melamar, karena kami (MA dan KY) yang seharusnya mencari sendiri,” kata Bagir.

Menurut Bagir, hakim agung adalah profesi mulia yang seharusnya diminta, bukan calon hakim agung sendiri yang kemudian mendaftar untuk meminta jabatan tersebut.

Untuk hakim karir, MA tentu memiliki catatan tersendiri dan KY juga memiliki daftar rekam jejak para hakim sehingga seharusnya mudah untuk melihat bagaimana integritas dan kinerja para hakim.

Sementara untuk hakim nonkarier, Bagir berpendapat KY dapat mencari calon yang kompeten di perguruan tinggi.

Terkait dengan usulan tersebut, Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan bahwa pihaknya tetap melakukan “jemput bola” untuk mendapatkan CHA berkualitas dan berintegritas.

Calon-calon potensial dikatakan Jaja dijaring di pengadilan-pengadilan tinggi untuk hakim karir, dan di perguruan-perguruan tinggi untuk hakim nonkarir.

Dipermalukan

Salah satu alasan lain yang menyebabkan rekomendasi CHA kurang berjalan baik adalah perasaan takut dipermalukan yang dirasakan oleh para kandidat ketika dihadapi dengan seleksi kepribadian, integritas, serta tes kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Kandidat yang lolos dari seleksi KY tentu sudah yang terbaik, tidak perlu ditanya dengan pertanyaan yang tidak ada korelasi dan tidak relevan ketika tes di DPR,” kata Bagir.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Suparman yang mengatakan bahwa banyak kandidat CHA yang enggan mengikuti rekrutmen dan seleksi CHA, karena setelah “dipermalukan” dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, calon ini belum tentu mendapatkan persetujuan dari DPR.

Siapapun yang menjabat sebagai hakim agung tentu harus memenuhi aspek integritas, independen, imparsial, dan kompeten.

Namun mencari hakim agung dengan empat aspek itu serupa dengan mencari jarum di dalam tumpukan jerami, memang sangat sulit namun bukan berarti tidak mungkin.

Dalam hal ini mata KY diharuskan untuk terbuka lebar dalam mencari calon hakim agung mumpuni, yang serupa dengan jarum di antara tumpukan jerami.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta