Harga minyak mentah Indonesia naik. (ilustrasi/aktual.com)

New York, Aktual.com – Minyak berjangka naik lebih dari satu persen pada akhir perdagangan Selasa (18/9) waktu Amerika, atau Rabu (19/9) pagi WIB, di tengah sinyal bahwa OPEC tidak akan meningkatkan produksi untuk mengatasi penurunan pasokan dari Iran, dan Arab Saudi mengisyaratkan target informal dekat pada level saat ini.

Patokan internasional, minyak mentah Brent untuk pengiriman November, naik 0,98 dolar AS atau 1,3 persen, menjadi menetap di 79,03 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.

Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober, meningkat 0,94 dolar AS atau 1,4 persen menjadi ditutup di 69,85 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Harga-harga memangkas keuntungannya dalam perdagangan pasca-penyelesaian setelah data dari kelompok industri American Petroleum Institute (API) menunjukkan persediaan minyak mentah AS naik 1,2 juta barel dalam seminggu yang berakhir 14 September menjadi 397,1 juta barel, dibandingkan dengan ekspektasi para analis untuk penurunan 2,7 juta barel.

Data resmi pemerintah AS akan dirilis pada hari Rabu.

Para menteri dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen non-OPEC akan bertemu pada Minggu (23/9) untuk membahas kepatuhan dengan kebijakan-kebijakan produksi.

Sumber-sumber OPEC mengatakan kepada Reuters bahwa tidak ada tindakan segera direncanakan dan para produsen akan mendiskusikan bagaimana membagi peningkatan produksi yang disepakati sebelumnya.

Bloomberg melaporkan pada Selasa (18/9), mengutip sumber Saudi yang tidak disebutkan namanya, bahwa kerajaan itu saat ini merasa nyaman dengan harga di atas 80 dolar AS per barel, setidaknya untuk jangka pendek.

Dilaporkan pula bahwa sementara Arab Saudi tidak memiliki keinginan untuk mendorong harga lebih tinggi dari 80 dolar AS, mungkin tidak lebih lama untuk menghindarinya. Sanksi-sanksi AS yang mempengaruhi sektor perminyakan Iran akan mulai berlaku 4 November.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa Arab Saudi ingin minyak tetap berada di antara 70 dolar AS dan 80 dolar AS per barel untuk saat ini, karena eksportir minyak mentah terbesar di dunia itu menyeimbangkan antara memaksimalkan pendapatan dan mempertahankan harga hingga pemilihan kongres AS.

Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan harga minyak antara 70 dolar AS hingga 80 dolar AS bersifat sementara dan sanksi-sanki dapat mendorongnya, menambahkan harga jangka panjang akan berdiri di sekitar 50 dolar AS per barel.

Menteri Energi AS Rick Perry mengatakan pekan lalu di Moskow bahwa dia tidak memperkirakan lonjakan harga begitu sanksi mulai berlaku, dan positif tentang produksi Saudi.

Minyak berjangka juga mendapat dukungan dari risiko geopolitik pada Selasa (18/9).

Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan sebuah pesawat militer Rusia ditembak jatuh oleh sistem anti-pesawat Suriah, tetapi secara tidak langsung menuduh Israel yang menyebabkan insiden itu, mengatakan bahwa jet Israel di dekatnya telah menempatkan pesawat Rusia di jalur bahaya.

Rusia telah mengatakan kepada Israel bahwa akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi personil militernya di Suriah. Hal ini telah dipastikan oleh Kementerian Luar Negeri di Moskow.

Namun, kenaikan harga minyak dibatasi oleh perang dagang. Prospek jangka panjang tetap tertekan oleh eskalasi dalam perang dagang China-AS yang telah mempersuram prospek permintaan minyak mentah.

China, salah satu konsumen minyak terbesar dunia, pada Selasa (18/9) menambahkan 60 miliar dolar AS produk-produk AS ke daftar tarif impornya. Langkah itu merupakan pembalasan atas pungutan yang direncanakan Presiden Donald Trump atas barang-barang China senilai 200 miliar dolar AS.

Pada Senin (17/9), pemerintahan Trump mengatakan akan mulai memungut tarif baru 10 persen pada sekitar 200 miliar dolar AS produk China pada Senin depan (24/9), dengan tarif naik hingga 25 persen pada akhir 2018.

Tarif cenderung membatasi aktivitas ekonomi di China dan Amerika Serikat.

“Perseteruan dagang antara Beijing dan Washington memiliki potensi untuk sangat mempengaruhi daya saing minyak mentah dan produk minyak AS di pasar China, dan itu juga akan menghalangi investasi China di sektor energi AS,” kata Abhishek Kumar, analis energi senior di Interfax Energy di London.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan