Jakarta, Aktual.com – Hakim Majelis Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang mengadili mantan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung diminta memperhatikan betul detail bukti dan fakta yang selama ini muncul dalam persidangan kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Hakim harus berani menegakkan kebenaran dan keadilan, seperti adagium “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”
Demikian disampaikan pengamat hukum sekaligus pengacara beken, Otto Hasibuan, Sabtu (22/9).
Menurut dia, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkarakan SAT sangat tidak adil dan tidak boleh terjadi.
Ia menunjuk pada Inpres No. 8/2002 yang sampai sekarang masih berlaku tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur BLBI yang menyelesaikan kewajibannya.
Selain itu, UU dan dua Ketetapan MPR, serta pernyataan resmi pemerintah kepada DPR yang semuanya menegaskan bahwa pihak yang telah menyelesaikan kewajibannya tidak akan diproses hukum dan seluruh proses penyelidikan dan penyidikan dihentikan. Ia juga meminta untuk tidak menafikan laporan hasil pemeriksaan BPK di tahun 2002 dan 2006.
Ketua Dewan Pembina Peradi itu mengingatkan, “KPK itu seperti yang dinyatakan oleh MK adalah bagian dari eksekutif, meski dia independen. Lagipula pada kejadian dulu itu KPK belum ada. Karena dia bagian dari pemerintah dan pemerintah sudah berjanji kepada warga negaranya, seharusnya diikuti juga oleh KPK. Seharusnya, KPK ikut dengan keputusan pemerintah sebelumnya. Jangan men-destroy. Kalau begini halnya, seperti ada negara di dalam negara”.
Dakwaan dikenakan kepada SAT didasarkan pada hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017. Sesuatu yang menurut Otto Hasibuan sangat janggal karena audit tersebut dilakukan atas permintaan KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka. Lebih janggal lagi, karena audit pesanan itu tidak independen dan sepihak yakni hanya berdasarkan data data yang melulu berasal dari KPK, tidak ada yang auditee (yang terperiksa)-nya.
“Audit BPK ini jelas melanggar azas asersi, SPKN (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) dan menyalahi Peraturan no. 1 BPK sendiri”, ujar Otto.
“Audit investigatif BPK 2017 itu menyatakan karena SKL diterbitkan maka timbul kerugian negara. Sebelumnya BPK—dalam auditnya tahun 2002 dan 2006—menyatakan karena semua kewajiban sudah diselesaikan maka layaklah diterbitkan SKL kepada SN. Jadi, ada 1 audit BPK yang bertentangan dengan 2 audit BPK sebelumnya” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby