Jakarta, Aktual.com – Tiga tahun lalu, tepatnya pada medio April 2015 diadakan sebuah acara monumental di Indonesia karena menjadi tuan rumah kembali Konferensi Asia-Afrika (KAA).

Indonesia menjadi tuan rumah tepat 60 tahun peringatan KAA. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara penggagas KAA bersama India, Sri Lanka, Myanmar dan Pakistan.

KAA sendiri merupakan salah satu hal penting bagi negara dunia ketiga karena sejak diadakan pertama kali, KAA terus mengkampanyekan ‘hak-hak’ negara yang tidak tergabung dalam blok barat dan blok timur. Tidak hanya itu, KAA juga telah mengakibatkan banyaknya negara afrika terbebas dari penjajahan, alias merdeka.

Kembali ke April 2015, dalam pelaksanaan KAA di Jakarta. Saat itu, Indonesia hampir setahun di bawah kepemimpinan Joko Widodo.

22 April 2015, masyarakat Indonesia dikagetkan oleh pernyataan Jokowi. Di depan 109 perwakilan negara peserta KAA, ia berani mengkritik keras praktik ketidakadilan ekonomi di dunia global.

“Ketidakadilan global juga tampak jelas ketika sekelompok negara menolak perubahan realitas yang ada. Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang,” kata Jokowi dalam pidatonya saat itu.

Kritik ini pun dinilai menjadi yang terkeras yang pernah dilontarkan Presiden Indonesia setidaknya selama 20 tahun terakhir.

“Saya berpendirian pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan pada tiga lembaga keuangan itu. Kita mendesak reformasi arsitektur keuangan global untuk menghilangkan dominasi kelompok negara atas negara-negara lain,” sambung Jokowi.

Sayangnya, pidato Jokowi tersebut tak terealisasi. Tiga tahun berselang, Indonesia justru menjadi tuan rumah pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia.

Tanpa malu-malu, pemerintah Indonesia tetap ngotot agar event ini tetap dilaksanakan usai dihajar dua gempa besar di Lombok dan Sulawesi Tengah.

Dua bencana ini telah memancing simpati masyarakat dunia internasional. Bahkan, gempa di Sulteng juga diikuti oleh tsunami dan likuifaksi.

Ribuan korban jiwa dan puluhan ribu korban luka-luka mencoba berdiri dan kembali menatap hidupnya di saat pemerintah menghabiskan Rp 855 miliar untuk pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia.

Oh iya, alokasi pemerintah untuk menggelar pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia juga empat kali lebih besar dari alokasi anggaran yang dipakai untuk menggelar KAA pada tiga tahun silam.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan