Sejak pilpres 2014 hingga jelang pilpres 2019, imperium bisnis LIPPO Group milik Mochtar Riadi ini bukan saja selalu bertaut secara politis dengan Presiden Jokowi. Melainkan kerap dikaitkan dengan Republik Rakyat Cina (RRC), negeri leluhur Mochtar dan putranya, James Riadi. Gimana muasal kongsi antara imperium LIPPO dengan RRC?
Mari kita buka kembali tumpukan berita-berita lama. Pada 1993, sebuah majalah terbitan Hongkong, Asia Inc, menginformasikan bahwa LIPPO Group bakal menancapkan megaproyek senilai Rp Rp 20 triliun di RRC. Waktu itu, ketika dolar AS masih Rp 2000, Rp 20 triliun atau 10 juta dolar AS merupakan jumlah yang cukup fantastis.
Lebih spektakuler lagi, dengan investasi sebesar Rp 20 triliun, Mochtar Riadi dan LIPPO praktis merupakan investor tunggal terbesar yang pernah menanam modal di RRC ketika itu. Bahkan jika kita bandingkan dengan Indonesia, Rp 20 triliun yang ditanam LIPPO Group di RRC setara dengan aplikasi Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk ke dalam Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada APBN 1992. Bukan itu saja. Angka Rp 20 triliun itu sama dengan sepertiga dari volume dari APBN Indonesia tahun anggaran 1993/1994. Menakjubkan bukan?
Namun ini baru sebagian dari cerita. Ada cerita lain lagi yang tidak kalah spektakuler. Kali ini Aktual berhasil melacaknya melalui Zuhai, sebuah kota yang merupakan pintu gerbang di kawasan Cina Selatan. Rupanya di Zuhai ini pula, taipan Mochtar Riadi dan LIPPO Group juga nerintis investasi baru di bidang properti senilai Rp 1 triliun.
Adapun Rp 1 triliun ini dianggarkan untuk membangun apartemen, gedung-gedung komersial, dan beberapa hotel berbintang. Untuk membangun proyek raksasa itu, LIPPO kali ini bukan merupakan investor tunggal, melainkan dengan berkongsi dengan China Travel Services. Dua kelompok bisnis itu berkibar di bawah panji Chung Po Investment Company (CPIC).
Proyek kelas naga ini menurut catatan Tabloid Detik edisi Septemer 1993, memakan lahan sekurang-kurangnya 140 hektar, dan hampir sebagian besar berlokasi di Zuhai, Cina Selatan. Agaknya fakta ini paralel dengan kebijakan Deng Xio Ping, pemimpin Cina pengganti Mao Zhe Dong, menerapkan Special Economic Zone di 14 kota di Cina Selatan. Untuk menarik para taipan melakukan investasi di 14 kota tersebut. Menurut data base pemerintah Cina kala itu, para taipan kaya raya yang tersebar di seluruh dunia, khususnya di Asia Pasifik, rata-rata leluhurnya berasal dari salah satu 14 kota di Cina selatan tersebut.
Leluhur Mochtar Riadi sendiri, berasal dari Putian, tempat asal-usul nenek moyang Mochtar pada tahap awal. Maka Putian dan Fujian, merupakan sasaran Mochtar Riadi dan LIPPO Group di RRC begitu Presiden Suharto membuka kembali hubungan diplomatik RI-RRC.
Maka tak heran di kawasan ini pula, Mochtar Riadi mendapat konsesi lahan seluas 64 kilometer persegi. Bayangkan betapa panjangnya bentangan lahan yang diberikan kepada LIPPO. Lebih fantastisnya lagi, lahan seluas 64 km persegi itu diberikan gratis oleh RRC kepada Mochtar.
Meskipun nilai nominal investasi tersebut belakangan kurang begitu akurat, namun sumber-sumber LIPPO kala itu tidak membantah adanya rencana strategis LIPPO dengan pemerintah RRC terkait beberapa megaproyek tersebut. Bahkan beberapa sumber yang sempat saya serap ketika masih jadi wartawan aktif kala itu, dalam menaman modal di RRC praktis LIPPO Group tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Kok bisa?
Nah di sini cerita semakin menarik. Lag-lagi menurut sumber di internal LIPPO kepada Tabloid Detik ketika itu, modal andalan Mochtar dan LIPPO adalah secarik kertas dari pemerintah RRC. Secara kertas ini berisikan pemberian konsesi lahan kepada LIPPO. Nah melalui secari kertas dari penguasa RRC itulah, LIPPO kemudian menawarkan kepada berbagai pihak yang memiliki modal. Gila!
Begitu ada yang tertarik, maka kemudian ada yang kemudian membangun hotel, apartemen, kawasan industri dan lain-lain.
Kalau menyimak konstruksi cerita tadi, sejatinya LIPPO Group bukan pemodal yang sesungguhnya. Peran yang dimainkan hanya sekadar Manajer Proyek. Para pemodal sesungguhnyalah yang mengeluarkan uang untuk investasi megaproyek di RRC tersebut. Namun demikian, meskipun hanya sekadar mendapat komisi dari megaproyek yang dicanangkan, pada perkembangannya komisi yang diperoleha LIPPO itu tidak diterima berupa cash atau mentahan, namun dikjadikan sebagai modal dalam proyek tersebut.
Alhasil LIPPO memiliki saham di setiap proyek yang dibangun di atas lahan yang konsesinya ada di genggaman LIPPO Group.
Inilah yang menjelaskan mengapa dalam rating para investor Cina Indonesia yang menanam modal di RRC pada dekade 1990-an, LIPPO Group berada di peringkat teratas, baru menyusul Salim Group milik Liem Soe Liong dan Sinar Mas milik Eka Cipta.
Lebih dari itu, konstruksi cerita tadi semakin memperkuat adanya ikatan ekonomi maupun poilitis yang begitu kuat antara Dinasti Riadi dan LIPPO Group dengan pemerintah RRC. Rupanya ikatan tersebut dirajut sejak awal 1990-an.
Ini pula yang menjelaskan mengapa Mochtar dan James Riadi yang memiliki koneksi dengan Bill Clinton dan Arkansas Connection, menjadi broker politik tingkat tinggi antara pemerintahan Bill Clinton sejak 1992-2000.
Sehingga ketika Jokowi-JK memenangi pilpres 2014 dengan dukungan dari taipan Dinasti Riadi, maka tak heran jika berkembang opini bahwa persenyawaan hegemoni RRC-AS yang dirajut Riadi dan LIPPO, berada di balik kemenangan Jokowi-JK.
Artinya, Jokowi-JK sejak awal berada dalam orbit pengaruh skema kapitalisme global berbasis korporasi. Jika demikian, maka sejatinya tidak ada hubungan bilateral yang murni antara RI dan RRC semasa pemerintahan Jokowi-JK. Mengingat begitu besarnya pengaruh Dinasti LIPPO di balik beberapa kebijakan ekonomi pemerintah Jokowi dalam mewarnai hubungan bilateral RI-RRC. Ketika kapitalisme berbasis korporasi lebih mendominasi daripada negara sebagai subyek ekonomi politik. Sehingga sejatinya yang terjadi adalah hubungan trilateral antara RI-RRC dan Taipan (LIPPO).
Hendrajit, redaktur senior Aktual.