Sigi, Aktual.com – Warga Desa Sibalaya Selatan, Kecamatan Tanambulava, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang terdampak gempa bumi dan likuifaksi, berharap agar akses listrik segera sampai ke posko pengungsi.
“Sudah mau masuk dua minggu sejak rumah kami hancur dan harus tinggal di pengungsian. Sampai hari ini (Selasa, 9/10), belum ada listrik yang masuk,” kata Nuria Lapondeng (84), warga Sibalaya Selatan saat ditemui di sisa reruntuhan rumahnya, Selasa.
Meski demikian, Nuria Lapondeng mengatakan beberapa paket bantuan pangan sudah dia terima, diantaranya berisi beras, mie instan, dan obat-obatan. “Bantuan pertama itu datang kira-kira satu minggu setelah gempa besar dan rumah semua hancur. Kira-kira hari Jumat, ada dari tentara, juga ini partai,” sebut Nuria.
“Iparnya anak saya ini rumahnya baik-baik di atas, waktu itu kami mendapat bantuan dari mereka, tapi saya ada sawah juga, kemarin baru panen, tidak banyak memang, cukup untuk makan keluarga,” terang Nuria.
Tidak hanya bantuan pangan, ia mengaku layanan kesehatan juga sudah didapatkan di posko pengungsi yang masih terletak di Sibalaya Selatan. Walau bantuan sudah sempat tiba di Sibalaya Selatan, perempuan dengan tujuh anak itu berharap pasokannya dapat masuk ke posko lebih sering.
“Kadang-kadang bantuan datang, kadang lama berhenti,” tambahnya.
Nuria juga menyampaikan harapannya agar pemerintah dapat membantu membangun kembali rumahnya yang hancur dan terkubur tanah. “Iya bangun pakai apa lagi, tidak punya harta. Hilang sudah. Kalau bisa dibangunkan lagi (oleh pemerintah), mungkin kalau tidak di sini, di tempat lain boleh, asal jangan jauh-jauh dari sawah,” ujar Nuria.
Setidaknya ada sekitar 68 kepala keluarga (KK) yang terdampak gempa bumi dan likuifaksi di Desa Sibalaya Selatan, Jumat (28/9). Dari keterangan Ratna Lapondeng (41), putri keempat Nuria, ratusan warga dari 68 KK itu berhasil menyelamatkan diri, tetapi ada tiga warga yang tewas terhimpit bangunan. Pasca gempa, proses evakuasi dengan alat seadanya sudah dimulai sejak Jumat malam (28/9), tetapi jalan utama menuju wilayah itu terputus, sehingga warga harus berjalan kaki atau memanfaatkan jalur alternatif agar dapat ke luar dari desa.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: