Malang, Aktual.com – Sebanyak 11 kepala daerah yang memimpin kabupaten/kota di Jawa Timur (Jatim) telah tersangkut kasus korupsi dan terciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagian di antaranya masih dalam tahap pemeriksaan, dan sisanya bahkan sudah ada yang meringkuk di sel tahanan.

Yang paling baru adalah Bupati Malang Rendra Kresna yang mengakui telah menjadi tersangka atas dugaan gratifikasi. Kasusnya saat ini tengah ditangani oleh KPK.

Ia akan menjadi kepala daerah ke-12 asal Jatim yang jika nantinya memang terbukti bersalah.

Kasus ini sendiri menjadi peringatan keras terkait integritas yang dimiliki oleh kepala daerah di Jawa Timur.

“Sudah ada 11, jika Pak Rendra ditetapkan sebagai tersangka secara resmi menjadi 12, sudah sepertiganya dari jumlah kepala daerah di Jawa Timur. Ini warning keras soal sistem integritas di Jatim,” ungkap pengamat politik Wawan Sobari, Rabu (10/10).

Akademisi asal Universitas Brawijaya ini mengatakan, semua kepala daerah nyaris menyatakan komitmen untuk membangun zona integritas dan bahkan telah menandatangani pakta integritas.

Namun, kata Wawan, dalam prakteknya kepala daerah terjerumus dalam praktek korupsi yang sudah diungkap KPK.

“Semua telah menandatangani pakta integritas, tetapi berat ketika berhadapan dengan mesin-mesin politiknya,” kata Ketua Pusat Program Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya ini.

Wawan memandang praktek terjadinya korupsi baik di tingkat pusat maupun di daerah tak terlepas dari proses demokrasi yang terlalu cepat. Kalau melihat di negara-negara demokrasi sudah maju, lanjut dia, antara demokratisasi politik berbarengan dengan kemajuan sosial dan ekonomi.

“Sementara di kita (Indonesia), politik lari kencang, sementara sosial ekonomi lari di belakang. Akhirnya masyarakat itu, masih menyamakan atau menganalogikan pesta demokrasi sama dengan transaksi,” sebut Wawan.

Kenapa masyarakat perpadangan begitu? Wawan membeberkan, bahwa selama ini kepala daerah terpilih belum memberikan dampak langsung terhadap masyarakat. Di sisi lain, kepala daerah terpilih harus terus berhadapan dengan mesin-mesin politiknya yang mengawal hingga meraih kursi kepemimpinan.

“Hal ini dijadikan jalan pintas oleh kepala daerah atau calon, untuk turut larut dalam pola transaksi yang sudah terbangun di masyarakat. Jika ingin menang harus menjalankan praktek-praktek politik transaksi. Suara rakyat seperti harus dibeli untuk menang” tegasnya.

Ditambahkan, seorang kepala daerah bukan saja membutuhkan biaya formal. Namun, ada biaya yang lebih besar dan sangat dibutuhkan yakni biaya informal.

“Biaya informal itu apa ? memelihara konstituen itu satu, kemudian balas jasa kepada partai pengusung atau pendukung, selanjutnya balas jasa kepada tim sukses. Jadi di kita ini masih mengedepankan yang penting dapat suara, daripada bicara masa depan daerah setelah pilkada,” papar Wawan.

Dia mengungkapkan, hal sangat tidak mungkin terjadi kepada seseorang yang telah menggalang massa, sehingga bisa terpilih secara gratis. “Jadi istilahnya, mereka masih berperan menjadi mesin politik sampai kepala daerah itu menjabat. Orang-orang di sekelilingnya itu, pragmatisme masyarakat, karena belum merasakan dampak atau manfaat kepempimimpinan kepala daerah yang terpilih,” ujar Wawan.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan