Kapolri Jenderal Tito Karnavian, bersama Ketua KPK Agus Rahardjo. (ilustrasi/aktual.com)
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, bersama Ketua KPK Agus Rahardjo. (ilustrasi/aktual.com)

Oleh: Barri Pratama*

Terungkapnya Skandal Buku Merah oleh IndonesiaLeaks menggemparkan kembali dunia “persilatan”, tak tanggung-tanggung Skandal Buku Merah tersebut kini menyeret langsung nama Tito Karnavian, Polri 1. Dokumen IndonesiaLeaks menyampaikan bahwa kasus yang sebelumnya telah menyeret nama Patrialis Akbar juga menyimpan nama-nama besar lainnya. Tito diduga paling banyak mendapatkan “transfer” dari Bos CV Sumber Laut Perkasa, Basuki Hariman saat menjabat Kapolda Metro atau Kepala BNPT.

Sebelumnya diketahui bahwa, Penyidik KPK, Surya Tarmiani yang sempat memeriksa Kumala Dewi (saksi tersangka Patrialis Akbar dari pihak swasta bagian keuangan CV S.L.P.) telah menyalin dokumen penting dan pengakuan saksi atas skandal tersebut. Sayangnya dokumen yang tersimpan di laptop tersebut dirampas orang tak dikenal saat turun dari taksi.

Kemudian, kasus berlanjut dengan penghilangan atau perusakan barang bukti oleh dua perwira menengah Polri yang menjadi penyidik di KPK. Peristiwa tersebut terekam kamera CCTV di Ruang Kolaborasi Lantai 9 Gedung KPK, pada 7 April 2017 dan diketahui penyidik KPK lainnya. Rekaman tersebut yang menjadi dasar Pengawas Internal KPK bergerak memeriksa keduanya.

Hal ini semakin ramai setelah perusakan bukti oleh penyidik tersebut diungkap oleh IndonesiaLeaks dan diviralkan Bambang Widjojanto; Amien Rais; Neta S Pane; Masinton; Abdul Manan; Syamsul Arifin; Syawal Gultom; Andi Renold; Hendardi; Mahfud MD; dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya yang bersuara, baik yang secara terang-terang mendukung nama Tito maupun yang berlawanan.

“Tantangan ini bukan untuk saya tapi untuk KPK @KPK_RI. Saya sih menganggap itu hoax karena katanya itu terekam di CCTV KPK tapi KPK malah mengembalikan pelakunya ke Polri. Kalau diketahui oleh KPK seharus-nya langsung ditindak oleh KPK sebagai obstraction of justice,” tulis Mahfud MD dalam akun twitternya.

Pertanyaan saya mudah saja, mengapa arus ini dibawa kepada dukung dan tidak mendukung Tito? Bahkan sampai ada gerakan Aliansi Masyarakat Sumsel Bersatu (AMSB) segalalah, ada yang mau kerahkan massa 10.000 oranglah, ada aksi massa mahasiswa mengutuk dan periksa Bambang Widjojantolah, tokoh-tokoh bersuaralah, ini mengapa gaya khas gerakan digunakan oknum tertentu yang cenderung dekat dengan kekuasaan menggiring opini publik mendukung Tito. Saya jadi teringat aksi mahasiswa selepas Jambore ke kediaman SBY di Kuningan, penguasanya siapa yang didemo siapa, aneh!

Percaya KPK atau POLRI?
Jika kemudian saya ditanya lebih percaya mana antara KPK atau Polri, jelas jawaban saya skeptis dan cenderung tidak mempercayai keduanya.

Bagaimana saya bisa percaya KPK yang dengan sederet kasus-kasus Korupsi kelas kakap tidak pernah diselesaikan bahkan dalam contoh kasus suap di atas. Hampir semua kasus berhenti begitu saja setelah satu dua orang tertangkap, kasus e-KTP lah, atau kasus PLTU Riau 1 lah, dan yang terbaru ini kasus perusakan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik KPK sendiri. Bagaimana bisa kita percaya?

Lagian permainan pemberantasan korupsi terus berkembang menjadi permainan tebang pilih. Adagium lain yang sering disampaikan oleh “orang” KPK sendiri saat sosialisasi, mereka bukan tebang pilih tapi sedang tebang petik. Saya berfikir kenapa analoginya seakan sedang panen saja, petik yang matang, brongsong (bungkus dalam istilah jawa) yang belum ranum. Tapi saya meyakini ini hanya perilaku oknum belaka.

Kemudian bagaimana saya bisa percaya Polri, sederet kasus hanya jadi sampul pencitraan dan menguap begitu saja, entah kemana akhirnya. Kasus yang paling menyayat hati bagaimana pengungkapan terhadap penyiraman air keras kepada Novel Baswedan menguap bersama janji batas waktu pengentasannya. Tragedi keras seperti itu saja seperti hal remeh yang terabaikan, atau mungkin kasus tersebut terlalu berat sehingga perlu diabaikan? Tanya saja dalam hati masing-masing.

Sikap skeptis saya mungkin tidak pantas ditujukan kepada lembaga baik KPK maupun Polri karena kasus ini seharusnya dikurung dalam “permainan” oknum. Kita harus mengakui bahwa masih banyak orang baik di kedua lembaga yang harus kita percaya tersebut.

Permasalahan ini sebenarnya cukup dikembalikan dalam prinsip penegakan hukum, equlity before the law baik di dalam tubuh KPK maupun Kepolisian sendiri. Jika kembali pada permasalahan utama, maka fokus saja pada penyelesaian kode etik penyidik KPK yang melanggar dan jerat dengan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi pada keduanya, bahkan otak di belakang perusakan tersebut. Jelas bukan sekedar pelanggaran disiplin, bahkan hal tersebut sebuah tindak pidana. Lantas bukan kemudian pasrah dan dikembalikan kepada instansi asalnya.

Begitu juga dengan oknum Kepolisian yang tersangkut kasus bahkan kasus Korupsi, apalagi bagi Perwira Tinggi. Kasus korupsi apapun. Seharusnya menjadi tugas dan fungsi Kompolnas yang langsung dilantik Presiden dan dikomandoi Menkopolhukam bekerja. Menjadi tanggungjawab dan urusan Presiden. Sayang, ini semua bukan urusan Presiden kata Presiden sendiri, jadi bagaimana kita bisa percaya kasus yang menjerat bintang-bintang di Kepolisian akan selesai meski terungkap?

Oke, jangan skeptis seperti saya. Optimis dan percayalah kedua lembaga tersebut masih bisa diandalkan, masih dipenuhi orang-orang baik, buktinya IndonesiaLeaks mengungkapnya. Dan semoga kejadian ini semua bukan sandiwara politik yang berakhir dengan ketidakjelasan. Mungkin judul tulisan saya harus dirubah, karena arus begitu besar dengan dukung mendukung maka seharusnya saya ganti judul lebih spesifik dan personal. Kasihan lembaga-lembaga besar ini jika digeneralisir dan ramai seperti halnya Cicak vs Buaya. Mari kita ganti judul: Sekedar Polling, Percaya Tito atau Bambang?

 

* Penulis adalah Wakil Ketua Umum PP KAMMI 2017-2019

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan