Pemerintah memilih impor garam daripada produksi sendiri atau swasembada. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Institute for Global Justice (IGJ) mengingatkan kepada pemerintah bahwa kebijakan pembatasan impor jangan hanya dilakukan sekadar jangka pendek tetapi harus dapat digunakan untuk mewujudkan penguatan industrialisasi nasional.

“(Pembatasan impor) harus lebih diproyeksikan secara berkualitas, dan bukan hanya jangka pendek menjaga Rupiah,” kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti kepada Antara di Jakarta, Minggu (21/10).

Menurut dia, untuk saat ini langkah yang diambil pemerintah soal kewajiban TKDN (tingkat komponen dalam negeri), membatasi impor dan meningkatkan penyerapan produksi dalam negeri sudah tepat.

Ia berpendapat bahwa semua hal itu perlu dilakukan untuk memperkuat pembangunan fundamental ekonomi salah satunya adalah untuk memperkuat industrialisasi nasional guna meningkatkan daya saing dan nilai tambah.

“Pembatasan impor dan menyerap produksi dalam negeri harus memiliki skema yang strategis, sehingga perlu dikoneksikan dengan pembangunan desa,” paparnya.

Dengan demikian, ujar Rachmi, maka penyerapan produksi dalam negeri ke depannya juga bisa menggenjot perekonomian desa dengan memastikan penyerapan produksi desa.

Direktur Eksekutif IGJ juga mengingatkan bahwa kewajiban TKDN bukan hanya sekadar kebijakan terkait impor tanpa implementasi pasti, namun harus dilakukan adanya sistem monitoring dan pengawasan yang ketat terhadap penerapannya.

Sebagaimana diwartakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai pertumbuhan impor sudah turun menyusul berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah namun angkanya masih besar.

“Impor walaupun pertumbuhannya turun, tapi y-o-y (perbandingan setahun ini dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya) masih 14 persen, itu masih terlalu tinggi,” kata Sri Mulyani, Senin (15/10).

Menkeu menyatakan senang perkembangan terkini bahwa laporan BPS menunjukkan perbaikan dari sisi neraca perdagangan, terutama nonmigas.

Sebelumnya, ekonom Rizal Ramli menilai kebijakan pengetatan impor pemerintah seharusnya menyentuh importir-importir besar sehingga dapat lebih efektif mengurangi defisit transaksi berjalan.

“Kebijakan pemerintah yang terbaru naikin tarif pajak 2,5 sampai 7,5 persen untuk 1.147 komoditi. Kebanyakan itu komoditad ecek-ecek semua. Lipstik lah, sabun lah, baju lah, yang gak penting amat, yang total impornya hanya lima billion dolar dan kebanyakan menyentuh pengusaha menengah kelasnya itu. Tapi tidak berani menyentuh top ten dari importir Indonesia yang itu 67 persen dari impor,” ujar Rizal Ramli di Jakarta, Rabu (26/9).

Rizal juga menantang pemerintah apakah berani menaikkan pajak impor atau pajak penjualan dari sepeda motor dan mobil beserta suku cadangnya yang jumlah impor dan pertumbuhannya relatif tinggi.

antara

Artikel ini ditulis oleh:

Antara