Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, mengatakan inflasi di Indonesia dalam empat tahun terakhir memang relatif rendah, namun tidak diikuti meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

“Yang kami persoalkan bukan inflasi rendah, itu prestasi atau bukan prestasi pemerintah. Tapi yang menohok adalah data mengenai korelasi antara pertumbuhan ekonomi kita dengan inflasi. Di negara lain yang inflasinya rendah hampir semuanya punya tren pertumbuhan yang positif artinya ada tren kenaikan,” kata Enny saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (15/11).

Enny mencontohkan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia yang ketika inflasinya rendah pertumbuhan ekonominya meningkat. Sedangkan Indonesia, meski inflasi relatif terjaga rendah di level 3-4 persen, namun pertumbuhan ekonomi stagnan di level lima persenan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi pada Oktober 2018 sebesar 0,28 persen. Tingkat inflasi pada tahun kalender Januari-Oktober 2018 tercatat sebesar 2,22 persen dan inflasi dari tahun ke tahun (yoy) sebesar 3,16 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal III/2018 rata-rata baru mencapai 5,17 persen.

Wakil Direktur INDEF Eko Listyanto mengatakan, inflasi yang rendah saat ini terjadi karena laju daya beli yang juga rendah.

Menurutnya, inflasi rendah akan dapat merepresentasikan keberhasilan pengendalian harga jika beriringan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat.

“Persoalannya, inflasi yang relatif rendah saat ini tidak diiringi dengan pertumbuhan ekonomi yang akseleratif, sehingga rendahnya inflasi lebih mencerminkan laju daya beli yang juga rendah,” ujar Eko.

Padahal, lanjut Eko, porsi pendapatan terbesar masyarakat dibelanjakan untuk pangan, terutama golongan menengah ke bawah. Jika pemerintah tidak mampu menjaga stabilitas harga pangan, implikasinya akan lintas sektor, yaitu permintaan produk nonpangan pun akan ikut terkoreksi karena lemahnya daya beli.

Ia menambahkan, daya beli yang terkoreksi selanjutnya akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi karena mesin pertumbuhan yang paling dominan di Indonesia adalah konsumsi rumah tangga swasta. Pertumbuhan ekonomi yang “terperangkap” di angka lima persen meskipun suntikan belanja pemerintah terus ditingkatkan, menandakan daya stimulasi anggaran yang lemah.

“Efeknya kemudian menjalar mulai dari semakin tertundanya eksekusi investasi karena aksi “wait and see”, hingga peringkat kemudahan berusaha yang terkoreksi,” ujar Eko.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: