Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo didesak untuk turun tangan dalam mengatasi kasus hukum yang menimpa Baiq Nuril Maknun guru honorer sebuah SMA di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Desakan ini dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara.
Baiq merupakan korban pelecahan seksual tetapi justru terjerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
“Saya sangat berharap sekali Pak Presiden dapat turun tangan atas masalah yang dialami Bu Nuril. Kasus ini sudah merusak kepercayaan kepada negara dan hukum,” kata Anggara saat konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Jakarta, Jumat (16/11).
Baiq Nuril dilaporkan oleh kepala sekolah SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat bernama Muslim ke polisi atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik berisi konten asusila yang telah diputus kasasi melanggar Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE dan dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan penjara.
Menurut Anggara, Jokowi bisa turun tangan dengan memberikan Amnesti (penghapusan hukuman), walaupun ini biasanya dilakukan di masalah politik namun dia berharap bisa diberikan dalam kasus Baiq Nuril ini.
“Karena hukum tidak mungkin lagi, yang kami usulkan adalah amnesti. Amnesti itu adalah tindakan sepihak dari presiden untuk mengampuni seseorang baik yang telah dibuktikan bersalah, sedang persidangan, atau masih dalam proses penyidikan,” jelas Anggara.
Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Baiq Nuril bersalah itu tidak sejalan dengan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017.
“Dalam pandangan Komnas Perempuan, putusan MA ini telah tidak sejalan dengan semangat Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim Mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan,” kata Azriana R Manalu.
Dia mengungkapkan pada Pasal 4 Perma 3/2017 disebutkan: Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan, yakni: a. ketidaksetaraan status sosial antara pihak berperkara, b. ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, c. diskriminasi, d. dampak psikis yang dialami korban, e. relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, dan g. riwayat dari pelaku terhadap korban/saksi.
Menurut Azriana, tindakan Nuril merekam merupakan upaya untuk membuktikan kejadian pelecehan seksual yang dia alami. Tindakan itu juga untuk menunjukkan Nuril tidak memiliki hubungan khusus dengan pelaku.
“Pandangan Hakim Kasasi terhadap Baiq Nuril melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE di mana tindakan BN secara hukum dianggap memenuhi unsur sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah melanggar filosofi UU ITE,” tegas Azriana.
Azriana menegaskan, tujuan utama pembuatan UU ITE yakni untuk membuktikan tindakan kejahatan dengan memanfaatkan teknologi. Sementara Nuril menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang dialami.
“Sementara Baiq Nuril menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang paling sulit dibuktikan dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam konteks ini ada ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan BN,” ujar Azriana.
Pengacara Baiq Nuril, Aziz Fauzi menegaskan kliennya tidak melanggar UU ITE terkait tersebarnya rekaman pembicaraan dengan atasan Nuril berinisial M. Rekaman percakapan disebar orang lain.
“Klien kami tidak melakukan transaksi elektronik, hanya memberikan HP secara konvensional. Nah Undang-Undang ITE saya tegaskan lagi hanya mengatur transaksi elektronik. Jadi tidak ada interaksi dua atau lebih perangkat yang dilakukan oleh klien kami,” katanya.
Menurut Aziz, kliennya hanya menyerahkan rekaman hasil percakapan dengan kepala sekolah secara manual, dan dia tidak mengetahui tersebarnya rekaman tersebut ke MA.
Nuril menurut Aziz hanya menyerahkan telepon genggam yang di dalamnya tersimpan rekaman percakapan mesum M karena diminta rekan kerjanya. Setelahnya rekaman percakapan tersebar.
“Dari fakta persidangan, (menyatakan) Ibu Nuril tidak terbukti mengirim rekaman tersebut kepada orang atau kepada banyak orang secara elektronik. Kemudian secara transmisi, Ibu Nuril tidak terbukti mengirim rekaman tersebut kepada satu orang atau satu perangkat secara elektronik,” ujar Aziz memaparkan fakta persidangan di pengadilan tingkat pertama.
Atas pertimbangan tersebut, Pengadilan Negeri Mataram melalui majelis hakim yang dipimpin Albertus Husada pada 26 Juli 2017 dalam putusannya menyatakan bahwa hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan H Muslim yang diduga mengandung unsur asusila dinilai tidak memenuhi pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dari fakta persidangan di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menyatakan bahwa tidak ditemukan data terkait dengan dugaan kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang bermuatan asusila.
Majelis hakim saat itu menyatakan, yang mendistribusikan hasil rekaman tersebut adalah Imam Mudawin, rekan kerja Baiq Nuril saat masih menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram.
Hal itupun disampaikan majelis hakim berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan Tim Digital Forensik Subdit IT Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri terhadap barang bukti digital yang disita tim penyidik kepolisian.
Karena itu, barang bukti digital yang salah satunya adalah hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan H Muslim, mantan Kepala SMAN 7 Mataram, itu dinilai tidak dapat dijadikan dasar bagi penuntut umum dalam menyusun surat dakwaannya.
Namun Majelis kasasi Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan