Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi

Jakarta, Aktual.com – Pansus Pelindo II DPR RI telah merekomendasikan pemerintah untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT-Koja karena pelanggaran undang-undang dan menyebabkan kerugian keuangan negara. Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diminta DPR melakukan audit investigasi juga sudah menyatakan ada indikasi kerugian negara minimal hampir Rp6 triliun dalam kasus perpanjangan kontrak Hutchison di JICT dan TPK Koja. Ketika dicantumkan kata ‘indikasi’ bukan ‘potensi’ artinya kerugian tersebut sudah terjadi.

Anehnya, meski dua lembaga tinggi negara sudah menyatakan pelanggaran-pelanggaran dan kerugian negara tersebut, pemerintah seolah tak peduli dan ogah menindaklanjuti kasus kontrak JICT-Koja. Pengelolaan gerbang ekonomi nasional tersebut dilego kembali kepada Hutchison untuk 20 tahun mendatang.

Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi mengatakan berbagai temuan baik yang sudah dimunculkan DPR maupun audit investigatif BPK dalam kasus Pelindo II dan belum juga tuntas hingga saat ini menunjukan kurang adanya komitmen dari pemerintah.

“Kalau pemerintah memiliki komitmen kan tinggal memilih orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” kata Adhie di Jakarta, Sabtu (24/11).

Kenyataan tersebut menjadi ironis jika melihat visi Jokowi yang ingin mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Padahal, menurut mantan juru bicara Presiden Gus Dur ini, masyarakat terlanjur berharap visi tersebut bisa diwujudkan. Selain kasus Pelindo II, Adhie mencontohkan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW yang hingga saat ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

“Faktor utamanya karena tidak adanya orang-orang di sekitar Jokowi yang memiliki komitmen untuk menjalankan visi tersebut,” imbuhnya.

Kondisi ini menyebabkan munculnya isu tentang banyaknya kepentingan yang merintangi presiden untuk menjalankan visinya tersebut.

“Di kabinet pernah ada Rizal Ramli yang berusaha menjalankan visi presiden, tapi kan kemudian diberhentikan karena disinyalir banyak pihak yang merasa terganggu,” bebernya.

Disisi lain pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Daeng Salamuddin melihat publik skeptis dengan sikap pemerintah dalam menyelesaikan kasus Pelindo II terutama penegakan kedaulatan ekonomi lewat nasionalisasi JICT dan TPK Koja.

“Pemerintahan Jokowi bisa jadi akan menuai sikap antipati dari publik akibat ketidakpeduliannya terhadap penyelesaian kasus-kasus Pelindo II dan kontrak JICT-Koja,” kata Salamudin.

Sejauh ini, imbuhnya, publik mencatat berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi yang dianggap tidak mencerminkan keberpihakan terhadap kepentingan bangsa, mulai dari kasus Freeport, pengelolaan bandara, pendelegasian harga BBM kepada Pertamina, hingga soal Pelindo II.

Menurut Daeng, saat ini publik memang sulit berharap pemerintah akan menindaklanjuti temuan DPR maupun BPK mengingat mekanisme MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden sudah tidak ada lagi.

“Kita lihat bagaimana Menteri BUMN yang sampai sekarang tidak pernah hadir di DPR. Presiden pun tidak mempersoalkan ini,” ujarnya.

Dengan sikap pemerintah tersebut, Daeng menilai Pilpres menjadi momentum bagi publik untuk menentukan apakah akan tetap memilih kembali Jokowi atau menggantinya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka