Pekerja Stasiun Pe gisian Bahan Bakar Umum (SPBU) melayani konsumen yang mengisi Premium di SPBU, Jalan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/10). Selain meminta Kementerian ESDM menghitung secara cermat dinamika harga minyak internasional dan termasuk neraca migas secara keseluruhan dan memastikan daya beli masyarakat tetap menjadi prioritas. Jokowi minta Kementerian Keuangan menganalisis kondisi fiskal secara keseluruhan agar tiap kebijakan yang dikeluarkan, termasuk harga BBM, tetap dalam koridor menjaga kesehatan fiskal. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Di pengujung November 2018, harga minyak dunia mengalami penurunan drastis. Di awal November 2018, harga minyak masih mencapai puncaknya pada kisaran US$ 76,20 per barrel, turun menjadi sekitar US$ 51,48 per barrel pada 30 November 2018. Harga minyak acuan Amerika Serikat (AS) saat ini mencapai US$ 51,29 per barel, turun hingga 0,31% dibandingkan dengan harga penutupan pada Kamis 29 November 2018 sebesar US$ 51,45 per barel.

Penyebab utama penurunan drastis harga minyak itu adalah kelebihan pasokan di atas permintaan (over supply) akibat jor-joran ketiga negara: AS, Rusia dan Arab Saudi, yang membanjiri minyak di pasar. AS, yang kini menjadi produsen minyak terbesar dunia, memiliki cadangan level tertinggi dalam setahun terakhir mencapai 535 juta barel pada Maret 2017. Demikian juga dengan produksi minyak Rusia telah meningkat mencapai rekor tertinggi sebesar 11,41 juta barel per hari pada Oktober 2018. Sedangkan Arab Saudi mempertahankan produksi minyak hingga mencapai 11,3 juta barel per hari.

Seiring dengan penurunan harga minyak dunia, kurs rupiah terus menguat dalam satu bulan terakhir ini. Pada awal November 2018, kurs rupiah masih bertengger pada kisaran Rp 15.500 per dollar AS, turun cukup signifikan ke level Rp 14.300 per dollar AS. Selama harga minyak dunia masih cenderung turun, pergerakan rupiah diperkirakan masih akan mengalami penguatan, bahkan tidak menutup kemungkinan akan kembali mencapai pada level Rp. 13.000 per dollar AS.

Penurunan harga minyak dunia dan penguatan rupiah merupakan dua variabel signifikan dalam pembentukan harga BBM di dalam negeri, termasuk harga Premium dan Solar. Tidak berlebihan kalau Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Kementerian ESDM meminta kepada pengusaha SPBU untuk menurunkan harga BBM non subsidi. Alasannya, pada saat harga minyak dunia tinggi, harga BBM non subsidi telah dinaikkan, sehingga pada saat harga minyak dunia turun, maka harganya harus diturunkan sesuai dengan mekanisme pasar dalam penetapan harga.

Sedangkan untuk harga BBM subsidi belum ada urgensi untuk menurunkan dalam waktu dekat ini. Pasalnya, harga BBM subsidi ditentukan oleh Pemerintah, bukan oleh mekanisme pasar. Apalagi, pada saat harga minyak dunia sedang tinggi, harga BBM subsidi tidak dinaikkan dengan pertimbangan menjaga daya beli rakyat dan menahan laju inflasi. Kalau harga ditetapkan Pemerintah ternyata lebih tinggi dari pada harga keekonomian, maka selisih itu merupakan tambahan pendapatan bagi Pertamina. Tambahan pendapatan itu dapat digunakan untuk menutup potential loss, yang ditanggung Pertamina pada saat harga BBM subsidi tidak dinaikkan di tengah kenaikkan harga minyak dunia.

Hampir serupa, variabel pelemahan harga minyak dunia dan penguatan rupiah akan menurunkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Turunnya harga minyak akan mengurangi beban operasional PLN, yang akan menaikkan perolehan laba PLN tahun berjalan. Sedangkan, menguatnya rupiah akan mengurangi beban kerugian kurs

Pada triwulan III/ 2018, PT PLN (Persero) mencatatkan Laba Usaha sebelum selisih kurs sebesar Rp 9,6 triliun, meningkat 13,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 8,5 triliun. Namun, berdasarkan Standard Akuntansi Pencatatan Laporan Keuangan, PLN harus menacatatkan kerugian belum terealisasi (unrealised loss) akibat selisih kurs mencapai sebesar Rp 17 triliun. Setiap penguatan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS maka dapat mengurangi unrealised loss hingga Rp1,3 triliun.

Di tengah menurunnya harga minyak dunia dan menguatnya kurs rupiah terhadap dollar AS, kinerja keungan Pertamina dan PLN semakin membaik, sehinga tidak ada urgensi Pemerintah untuk menaikkan harga BBM subsidi dan tarif listrik hingga akhir 2019. Dengan demikian, pernyataan yang mengatakan bahwa kebijakan Pemerintah untuk menahan harga BBM subsidi dan tarif listrik bisa menjadi bom waktu bagi Pemerintahan Joko Widodo merupakan statemen yang tidak mendasar, cenderung mengada-ada dan tendensius. Menaikkan harga BBM dan tarif listrik, pada saat harga minyak dunia melemah dan kurs rupiah menguat, justru merupakan keputusan anomaly

Oleh: Fahmy Radhi (Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta