Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum maksimal dalam menarik pajak daerah, termasuk dari pajak reklame.

“Padahal di Jakarta, dalam tahun 2018, sebesar Rp38,12 triliun dari anggaran belanja atau 48,76% dari total APBD dibiayai dari pajak daerah,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.

Pernyataan di ats disampaikan Agus dalam acara bertajuk “Kinerja KPK 2018” yang dihadiri oleh sejumlah pimpinan KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12).

Selain Agus, beberapa pimpinan yang hadir antara lain adalah Saut Situmorang, Laode M Syarif, Alexander Marwata serta Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Deputi Bidang Informasi dan Data (Inda) Hary Budiarto, Deputi Bidang Pengawasan Internal, Pengaduan Masyarakat (PIPM) Herry Muryanto dan Kabiro KPK Febri Diansyah.

Menurut Agus, permasalahan mendasar di pemprov DKI Jakarta antara lain ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya, keengganan wajib pajak dalam memberikan data transaksi, ketiadaan sistem data dan informasi yang menjadi basis “data monitoring” potensi pajak (fiscal cadaster).

Selain itu, terdapat juga perilaku buruk dan kerusakan moral dalam pembayaran pajak, seperti pemalsuan, penghindaran, dan lain sebagainya serta kesulitan dalam pembayaran pajak. Pembayaran pajak juga belum menjadi persyaratan dalam pemberian izin (tax clearance).

“Besarnya potensi penerimaan yang tidak masuk ke kas daerah jika tidak dilakukan perbaikan sistem menyeluruh, maka potensi peningkatan penerimaan pajak DKI sebesar Rp4,9 triliun dari hasil pendampingan KPK di 2017 akan hilang,” ungkap Agus.

Karenanya, pada 2018, untuk lebih mengoptimalkan penerimaan pajak DKI, KPK mendorong perbaikan sistem dengan penerapan “tax clearance”. Aturan itu mewajibkan kepada Wajib Pajak untuk menyelesaikan tunggakan pajak daerah saat mengajukan permohonan perizinan atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) tidak akan melayani permohonannya.

Pada 2018, KPK menemukan dari 295 tiang tumbuh hanya 5 di antaranya yang memiliki izin. Potensi “moral hazard” dan pembiaran karena kebuntuan komunikasi antara dinas dan pihak terkait lainnya yang mengakibatkan tidak terpungutnya pajak reklame.

“Sekurangnya potensi pajak reklame yang dapat disetorkan ke kas daerah dengan tarif minimal Rp450 juta/tahun, maka sebesar Rp130 miliar/tahun tidak terpungut padahal pajak reklame merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi Jakarta” tegas Agus.

Pajak reklame menyumbang sekitar 3% total Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemprov Jakarta. KPK sendiri telah mendorong Pemprov DKI untuk mengembangkan sistem pengawasan reklame berbasis teknologi informasi dalam hal pendataan.

Untuk memperkuat pengawasan oleh masyarakat, kata Agus, data tersebut harus dibuka ke publik.

Agus juga meminta agar data titik reklame dari BPRD (Badan Pajak dan Retribusi Daerah), PTSP, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan, serta Satpol PP dapat direkonsiliasi, direkam titik koordinatnya dan dilengkapi dengan metadata.

Sementara Laode mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pendampingan ke Pemprov DKI sejak era Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pendampingan ini pun masih berlanjut ketika Djarot Saefullah menggantikan Ahok sebagai Gubernur lantaran divonis melakukan penistaan agama.

“Peningkatan penambahan pendapatan daerah dari sisi reklame saja dari yang tadinya kurang dari Rp1 triliun jadi sekitar Rp4,9 triliun, itu karena pendampingan KPK dan pendampingan itu berlanjut sampai sekarang sekarang,” ungkap Laode.

“Selanjutnya kami akan melakukan pendampingan untuk peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) berkaitan dengan air tanah dan akan tetap berlanjut meski belum maksimum di pemprov Jakarta serta provinsi lain yaitu Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan,” tambah Laode.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan