Jakarta, Aktual.com – Ketua Fraksi Partai NasDem Ahmad HM Ali berharap, keberhasilan pemerintah mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia juga dapat diikuti pengambilalihan saham PT Vale Indonesia dari pihak luar.
“Saya memiliki impian, Indonesia berdaulat atas kekayaan alamnya. Salah satu perwujudan yang terbilang penting adalah divestasi saham PT Vale Indonesia, menyusul keberhasilan divestasi saham Freeport,” ucap Ahmad dalam keterangannya, Sabtu (29/12).
Pasalnya Vale Indonesia merupakan perusahaan tambang asing asal Brasil. Dulu dikenal dengan nama INCO yang telah didirikan sekitar 1968 silam. “Lebih dari setengah abad, Vale telah mengkstraksi nikel di daratan Sulawesi,” bebernya.
“Di bawah rezim Kontrak Karya (KK) dengan penguasaan saham yang dominan, Vale telah menjadi salah satu perusahaan tambang nikel nomor wahid. Indikatornya, Vale menyumbang 5 persen pasokan nikel dunia. Dengan ukuran sedemikian, Vale memiliki pengaruh signifikan dalam dinamika komoditas nikel global,” ungkap Ahmad.
Dalam operasinya, lanjut Ahmad, Vale memiliki banyak noda. Mulai dari konflik antara masyarakat hingga isu kerusakan lingkungan. Masalah yang paling utama adalah KK. Di bawah rezim ini, perusahaan dan negara diposisikan setara.
Menurut Ahmad, relasi yang ada dalam KK itu tidak wajar. Sebab, negara yang merepresentasikan rakyat Indonesia, adalah pemilik sah Tanah Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sudah sepatutnya posisi negara lebih tinggi dari korporasi sebagai pengelola.
“Fenomena ini berimplikasi luas. Berkali-kali pihak korporasi diberi perpanjangan KK dengan klausul yang lebih condong menguntungkan mereka. Ini membuat kesan publik bahwa negara lemah di hadapan korporasi pertambangan,” imbuhnya.
Salah satu kesan negara lemah tercermin dari renegosiasi KK generasi kedua yang justru menurunkan besaran pajak penghasilan dari 45 persen menjadi 30 persen.
Dari sisi ekonomi-fiskal, kata Ahmad, terdapat manipulasi yang berdampak hilangnya potensi penerimaan negara, baik berupa pajak maupun royalti.
“Sejak 2013-2017, total penjualan, atau dalam istilah yang digunakan Vale pengiriman, selalu lebih besar ketimbang total produksi Vale,” ungkapnya.
Soal divestasi, sebenarnya Vale telah melepaskan 20 persen sahamnya kepada publik. Namun, dalam praktiknya, publik di sana didominasi pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri. Seperti Platinum Asia Fund, GIC Singapore, Citibank New York, NT SST Co, Vale Japan Limited, The Manufactures Life INS, BBH Boston, AIA, dan Prudential Life Assurance.
Padahal, dalam UU Minerba baru dan regulasi turunannya, khususnya PP Nomor 24/2012, jelas termaktub bahwa divestasi saham wajib diberikan secara berjenjang kepada peserta Indonesia. Yaitu kepada Pemerintah Pusat, Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta nasional. Hingga saat ini, Vale tak kunjung menawarkan saham kepada pihak Indonesia,” cetusnya.
Selain itu, Vale juga tak kunjung merealisasikan pembangunan smelter di Bahodopi dan Pomalaa. Tawaran dari Pemda Sulawesi Tengah untuk pembangunan itu juga tak digubris serius.
“Inilah saatnya untuk menimbang ulang status KK amandemen Vale. Hal-hal tadi cukup untuk menjadi basis pijak guna memaksa pihak Vale berunding kembali dan mempercepat agenda perubahan status KK menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang termasuk di dalamnya divestasi saham 51 persen ke pihak Indonesia. Mimpi saya, menyusul Freeport, Vale kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” tandasnya.
Laporan: Fadlan Syiam Butho
Artikel ini ditulis oleh:
Eka