Jakarta, aktual.com – Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menjadi sorotan dijagat media sosial dan bikin heboh jagat politik nasional. Menteri komunikasi menjadi perbincangan dijagat maya bahkan sampai menjadi trending topic dunia bukan karena prestasi tapi karena peristiwa/fenomena yang kurang bijak sebagai menteri.
Peristiwa yang kurang elok ini adalah buntut pernyataan sang menteri “yang gaji ibuk siapa” dalam sebuah forum kepada salah satu pegawai di kementerian. Pernyataan ini tidak sepantasnya keluar dari mulut seorang penyelenggara negara, apalagi sekelas menteri.
Berkaca dari banyak peristiwa sebelumnya, pernyataan ini bukanlah hal yang pertama. Sebelumnya calon wakil preseiden Kiyai Ma’ruf Amin juga pernah mengeluarkan pernyataan yang hampir serupa. Beliau menyebut pembangunan infrastruktur sebagai kebaikan Jokowi dan meng-analogikan pembangunan sebagai milik Jokowi sehingga masyarakat harus berterimakasih, Kiyai Ma’ruf Amin menganggap masyarakat yang tidak berterima kasih itu sebagai orang yang budek, buta dan tuli.
Virus retorika/logika yang kurang commen sense ini dengan sangat cepat menular kepada jajaran pemerintahan sampai ke level terendah, terbaru walikota kota Semarang juga mengeluarkan pernyataan serupa “kalau tidak mau dukung Jokowi jangan pakai jalan tol”. Waduh blunder lagi-blunder lagi.
Logika ngawur ini juga meng-infeksi para pendungkungnya, seolah-olah mencari pembenaran dan legitimasi atas dukungannya para pendukung pun kehilangan akal sehat dalam menilai dan menyikapi monumen/prasasti keberhasilan program pembangunan pemerintah.
Argumen semacam ini mempertontonkan/degalan yang kurang bijak, kurang mencerdaskan kehidupan bangsa, cacat secara logika, moral dan etik. Menjadikan program keberhasilan pemerintah dan atau anggaran negara sebagai alat untuk menekan lawan politik dan menganggap semua pembangunan sebagai kebaikan pemerintah adalah sesat pikir.
Karena pada dasarnya, semua program pemerintah dibiayai oleh uang rakyat melalui yang namanya pajak. Presiden Jokowi cukup fokus men-sosialisakan, menyampaikan ke masyarakat semua program keberhasilannya, dengan harapan rakyat puas, ketika masyarakat puas maka muncul pemilih yang mantul (strong voter) memilih kembali Jokowi dua periode, sebetulnya tidak perlu membangun arah jalan berfikir keberhasilan pemerintah dengan logika lebay/norak.
Program pembangunan adalah kewajiban pemerintah bukan sebuah kebaikan, justru pemerintah-lah yang harus banyak-banyak meminta maaf pada rakyat atas kegagalannya dalam menjalankan amanat konstitusi, masih banyak janji-janji kampanye yang belum tunai dipenuhi. Oleh karena itu, tidak tepat, kalaupun ada prestasi bukan pada tempatnya publik dituntut untuk berterima kasih, apalagi dengan tuntutan dukungan politik.
Para pendukung petahana dan sang penantang sepertinya harus lebih banyak lagi belajar soal politik dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governace). Bahkan para elite politik di kedua kubu juga harus menaikkan kapasitas dirinya ke level negarawan, tidak etis menuntut ucapan terima kasih dari rakyat.
Maka sudah sepantasnya jajaran pemerintah yang sesat fikir ini untuk meminta maaf secara terbuka kepada publik atas kesalahan cukup memalukan dan blunder para pembantu presiden (menteri). Pemerintah harus banyak-banyak malu dan berterima kasih pada rakyat karena mereka dibayar dari uang pajak rakyat, bukan logika terbalik yang dibangun, rakyat dituntut banyak berterima kasih ke pemerintah.
Kalau kita coba sisir satu per-satu, blunder apa saja yang pernah dilakukan tim Jokowi? Anehnya terus terulang dan kecerobohan subtantif terus terjadi, kita tidak tahu kapan akan selesai, nampaknya incambent, unsur pemerintah dan inner circle tim sukses/relawan, pembantu Jokowi tak mau belajar, gol bunuh diri terus terulang, apakah incambent panik? Karena terus berselancar pada isu/sintemen yang justru kontra-produktif, pelan namun nyata di depan mata bahwa blunder politik mengembosi elektabilitas petahana dan punya korelasi linear pada peningkatan elektabilitas sang penantang.
Kasus blunder lama Jokowi mulai dari kasus pembubaran HTI tanpa melalui mekanisme proses hukum di pengadilan namun mengebuk dengan Keppres yang dinggap Jokowi tidak pro-kebebasan berserikat dan di-stempel rezim tidak demokratis (freedom of expression). Kasus hasteg #2019GantiPresiden yang sempat dilarang namun semakin membesar. Kasus Habib Rizieq Shihab dan kasus ulama lainnya, dianggap kriminalisasi ulama. Kasus lemotnya penanganan kasus Novel Baswedan yang dinggap lapor buruk bagi citra penegakan hukum.
Belum lgi soal blunder kebijakan tim Jokowi contoh paling gres adalah soal kasus Abu Bakar Ba’asyir, yang sebelum santer dibebaskan, presiden punya alasan kemanusian, namun karena kuat tekanan dunia internasional, menteri Jokowi mengkoreksi dan kemudian presiden Jokowi mengkaji ulang niatnya tersebut.
Tidak hanya itu, remisi pembunuh wartawan blunder. Selanjutnya, soal kebijakan pemerintah yang maju mundur namun tidak cantik, Menpora cabut imbauan menyanyikan ‘Indonesia Raya’ di biskop. Belum lagi, PSI menjadi beban bagi Jokowi, PSI seringkali berulah, bikin akting yang blunder dan merugikan citra Jokowi, isu dan gorengan sintemen yang dimainkan sangat kontra-produktif, tidak menguntungkan Jokowi secara elektoral.
Yang paling panas dan fenomenal, langkah blunder Ketua Umum PPP, Romahurmuziy alias Romi yang merevisi doa yang diucapkan KH Maemoen Zubair (Mbah Moen) pada acara Sarang Berzikir bersama presiden Joko Widodo yang kemudian Romi dihujat dan dikecam beramai ramai kader PPP karena tidak pantas memperlakukan Mbah Moen seperti itu.
Dari awal kita sudah khawatir dengan pasal karet UU ITE yang bernafsu membungkam kebebasan berpendapat (freedom of speech) ujungnya memenjarakan akal sehat yang terkenal vokal mengkiritik pemerintah, sudah terlalu banyak jatuh korban ulah pasal ini, bahkan dunia Internasional sudah sangat khawatir dengan pasal karet yang berpotensi disalahgunakan pemerintah, ada ketakutan masa depan demokrasi di Indonesia karena ombak gelombang balik menguatnya rezim otoritarian.
Tidak hanya politisi, baru-baru ini artis/seniman juga menjadi korban pasal karet UU ITE, Ahmad Dhani dipenjara 1,5 tahun karena kasus ujaran kebencian, saya pikir ini juga blunder pemerintahan Jokowi, para pengemar Ahmad Dhani, mulai sekarang artis dan seniman otomaticly juga bakal berbenturan/berhadapan dengan Jokowi.
Blunder terbesar Jokowi adalah mengandeng Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. Cawapres adalah determinan menentukan kemenangan dalam kontestasi elektoral, salah mengandeng wakil sama saja dengan bunuh diri politik.
Fakta bahwa pelbagai lembaga survei menjelaskan bahwa Kiyai Ma’ruf Amin belum kerek elektabilitas Jokowi, ini barangkali yang membuat elektabilitas Jokowi mengalami stagnan/tidak terjadi pertumbuhan elektoral, berbeda dengan Sandiaga Uno yang secara emperis, pelan namun pasti mendongkrak elektabilitas capres Prabowo.
Blunder yang terus terjadi, menggapa tim Jokowi tidak ngaca dan intropeksi/evaluasi soal cara kerja tim dalam memenangkan kontestasi elektoral pilpres 2019. Terus terulang dan terus dilakukan Jokowi dan timnya, apakah punya dampak buruk terhadap elektabilitas Jokowi? Saya ingin katakan bahwa blunder tim Jokowi terus menerus jelas mengembosi elektabilitas Jokowi dan otomaticly menguntungkan Prabowo secara elektoral. Semoga Jokowi dan timnya segera recovery dan belajar atas blunder yang sudah dilakukan!!!
OLEH: PANGI SYARWI CHANIAGO
ANALIS POLITIK, SEKALIGUS DIREKTUR EKSEKUTIF VOXPOL CENTER RESEARCH AND CONSULTING
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin