SIAPA yang tak kenal dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)? Pertanyaan ini bisa saja membuat generasi kini terdiam, menoleh sambil mengerutkan kening dan enggan mengacungkan tangan. Namun, partai tak berumur panjang ini berperan membesarkan Yusril Ihza Mahendra. Salah satu politisi sekaligus praktisi hukum termasyhur di Tanah Air.
Yusril anak kampung, tumbuh besar lewat lantunan ketipung. Pembelajar ulung sejak muda dan pejuang hingga sekarang. Peluh bercucur namun keluh tak pernah dilontarkannya. Ia memosisikan politik sebagai pilihan dan berpartai adalah jalan hidup. Ya, Partai Bulan Bintang (PBB), tempat di mana ia kini menjadi pemangku pimpinan.
“Usia PBB telah 19 tahun, jika dibandingkan dengan Partai Masyumi dulu, didirikan 7 November 1945, dan dibubarkan tanggal 19 Agustus 1960, berarti usianya hanya 15 tahun. PBB tak sebanding dengan prestasi Masyumi,” ujar Yusril saat Halal bi Halal PBB beberapa waktu silam.
Yusril lalu berkisah, zaman berganti, seiring keadaan politik terus berubah. Saat awal merdeka, orang memilih partai seperti menentukan jalan hidupnya masing-masing.
Kala itu, pilihan berpartai kemungkinan besar ada tiga, jadi Nasionalis ikut PNI, bila Islamis ikut Masyumi, dan jika komunis ikut PKI. Yang lain ada, tapi tak sebesar pengaruh ketiga partai itu.
Sekali lagi, bagi Yusril, orang masuk partai adalah pilihan hidup; tempat di mana orang berjuang habis-habisan, mati-matian. Tak banyak pikir ini dan pikir itu. Kolektor barang antik ini menilai, sekarang, orang masuk partai banyak sekali pertimbangannya, dan banyak sekali hitung-hitungan untung-ruginya.
“Saya generasi yang lama, yang masih dipengaruhi oleh suasana partai-partai awal kemerdekaan tahun 1960-an, seperti Masyumi. Beda dengan generasi sekarang,” ucap Yusril sembari mengepalkan tangan.
Yusril tak sekadar ingin berpesan, layaknya sang tua kepada sang muda. Dengan segenap energi, generasi baby boomers ini tetap ingin berpartisipasi, menikmati ruang altruisme politik bersama generasi milenial.
Ayahnya, Idris Haji Zainal Abidin, adalah idola. Di hela napasnya, ada embusan Masyumi. Di derap langkahnya, terpatri cita-cita Masyumi. Keteladanan itulah yang membentuk sikap politik Yusril, di mana konsistensi dalam berpartai adalah kata kuncinya.
Dikisahkannya, sang Ayah ketika terjadi tragedi politik pembubaran Partai Masyumi, wajahnya sedih tapi tak setetes pun linangan air mata keluar saat menurunkan bendera Masyumi di halaman rumahnya. Peristiwa itu terjadi saat Yusril kecil mengeja kata politik pun belum begitu fasih.
“Saya masih ingat peristiwa itu,” ucap Yusril sambil tertunduk. Orangtuanya kerap berujar, sekali Masyumi tetap Masyumi. Diakui oleh fans Iwan Fals ini, dirinya banyak terpengaruh dari sikap dan alam pikiran itu.
Lagi-lagi, kata “konsisten” keluar dari mulut Yusril. Kata sifat itu seolah harus menjadi predikat saat orang memilih berpartai, di kala susah di kala senang. Tak elok, menjadi anggota partai untuk hanya menikmati kesenangan. Sebab, pilihan selalu jatuh pada apa yang kita perjuangkan.
Ketika seseorang memilih untuk berpartai, makna “konsistensi” adalah buah dari pilihan hidup tersebut. “Kita tidak menjadi anggota partai seperti orang mau beli baju, kalau tidak suka kita ganti dan kita gantung sembarangan, atau kita sedekahkan pada orang lain,” kata Yusril dengan penuh nada tegas.
Konsistensi, baginya, adalah kerja nyata yang pada akhirnya membentuk sikap kedewasaan dalam berpolitik. Dari konsistensi, lahir loyalitas, tak berarti fanatisme yang membendung nalar kritis.
Sikap kedewasaan berpolitik itu pernah ditunjukkan Yusril dalam satu episode Reformasi. Kala itu, Yusril didaulat menjadi salah satu calon presiden. Ia memilih mundur. Alasannya persatuan. Di samping itu, sebagai anak kandung Masyumi, Yusril hendak membayar utang.
“Kalau saya tidak mundur, belum tentu Gus Dur jadi presiden,” kenangnya. Setelah Abdurrahman Wahid absah sebagai presiden pertama era Reformasi, Yusril diminta menghadap. Ia hadiri perintah mantan saingannya itu. Dengan semangat baru, penulis pidato pengunduran diri Presiden Soeharto ini menemui Gus Dur di Wisma Negara lantai 3.
Selang beberapa lama, saat hendak pulang, Yusril bertemu dengan salah satu kiai Nahdlatul Ulama (NU), Abdullah Faqih namanya.
Dengan nada santun, Kiai Faqih berkata pada Yusril, “Kami terima kasih sama sampean.”
“Kenapa?” tanya Yusril.
“Sampean sudah ikhas mundur jadi capres dan karena itu Gus Dur terpilih jadi presiden,” cerita Yusril meniru dialeg Jawa Kiai Faqih.
Tiba-tiba, Yusril menatap langit-langit. Diambilnya napas panjang, lalu melanjutkan kisahnya.
Pada 1952, NU memutuskan keluar dari Masyumi. Musabbabnya gegara faktor penentuan Menteri Agama yang akan diutus Masyumi ke Kabinet Wilopo (Wilopo adalah tokoh PNI saat itu).
Kala itu, pilihannya adalah Wahid Hasyim (didukung NU), Faqih Usman (didukung Muhammadiyah), dan Osman Ralibi (didukung Wasliyah dan Ulama Aceh). Perdebatan sengit dan panjang pun tak terhindarkan, di sebuah malam dalam rapat Masyumi.
Musyawarah buntu, voting pun dilakukan. Terpilihlah Faqih Usman sebagai Menteri Agama usungan Masyumi. Seminggu kemudian, dalam Muktamar NU di Palembang, NU memutuskan mundur dari Masyumi.
“Pak Kiai Faqih, kursi Menteri Agama pada 1952 itu sudah saya bayar dengan mundurnya saya sebagai calon presiden,” ucap Yusril pada Kiai Faqih dengan senyum semringah.
Kedewasaan sikap dalam berpolitik dipegang teguh Yusril dari pendahulunya, generasi berprestasi Masyumi pada zamannya. Yusril tak ingin sampai pada satu kesimpulan bahwa pada akhirnya dengan demokrasi yang liberal ini, dengan demokrasi yang satu orang satu suara ini, yang menentukan adalah kaum pemilik modal.
Ia tetap optimis akan masa depan tanah airnya. Semakin membaik dan sejahtera. Itulah Yusril, sosok serius tapi selalu modis. Kritis dan pantang mengemis. Di pundak generasi muda, ia mendambakan lahirnya revisionis Muhammad Natsir, begawan politik yang sangat dikaguminya.
Oleh: Taufik Saifuddin
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan