Jakarta, Aktual.com – Sidang lanjutan perkara dugaan suap dengan terdakwa Tamin Sukardi kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Kamis (21/2). Adapun agenda persidangan kali ini yaitu pememeriksaan saksi yang diajukan penasihat hukum dan terdakwa.
“Sekarang saudara (Tamin) diperiksa sebagai terdakwa, saudara dalam pemeriksaan ini tidak disumpah. Tetapi diharapkan saudara memberikan keterangan yang sejujurnya,” kata Ketua Majelis Hakim saat mengawali persidangan pemeriksaan terdakwa.
Saat pemeriksaan terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutar rekaman hasil sadapan percakapan antara Tamin Sukardi dengan Helpandi, selaku panitera pengganti di Pengadilan Tipikor Medan. Dalam rekaman itu terdengar kode-kode permintaan uang untuk mengurusi perkara di persidangan.
Pada percakapan tersebut, yaitu “Saya kondisikan supaya tidak layu untuk tanggal 27, biar saya kondisikan tiga-tiganya,” kata JPU menirukan pembicaraan Helpandi kepada Tamin. Kemudian dijawab oleh Tamin “Ya, biar tetap mempertahankan,” ujar JPU masih meniru ucapan Tamin kepada Helpandi.
Selanjutnya JPU menggali keterangan kepada Tamin mengenai rekaman yang diputar tersebut. Kepada majelis Tamin mengungkapkan permintaan uang itu datang dari Helpandi. “Helpandi yang sebut, bukan saya,” ucap Tamin.
Terdakwa pun menjelaskan terkait dirinya yang sudah mempersiapkan uang SGD 280.000 atau sekitar Rp 3 Miliar untuk diberikan kepada Helpandi. Menurut Tamin, duit itu ia disiapkan sesuai dengan permintaan Helpandi selaku perantara permintaan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Medan yang menangani perkara Tamin.
Selama menjalin komunikasi dengan Helpandi, Tamin menggunakan jasa Hadi Setiawan alias Erik. Tamin mengaku kenal dengan Erik. Pertemuan pertama terjadi di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung Cabang Salemba pada Desember 2017.
“Saya bicara apakah kasus bisa dihentikan di Kejaksaan. Saya jelaskan kalau itu tidak mungkin masuk di Tipikor, sudah ada putusan MA (Mahkamah Agung,-red). Waktu itu bicara sama Erik. Urus (perkara,-red) perlu biaya, saya tidak punya biaya, itu kalau mau kena Rp 7-8 Miliar,” kata dia.
Setelah pertemuan pertama itu, Tamin kembali bertemu dengan Erik pada Maret 2018. Dia mengaku pertemuan itu berlangsung di Rumah Tahanan Tanjung Gusta Medan. JPU KPK kemudian menanyakan mengenai percakapan antara Tamin dengan Erik. “Ada pembicaraan apa?”tanya JPU kepada Tamin.
Tamin mengetahui dari Erik mengenai kelanjutan perkaranya. “Ternyata, dia sendiri tidak sebut bagaimana mengurus di Kejaksaan Agung. Saya juga tidak menyinggung, (Erik,-red) hanya bilang pak sudah lanjut mau sidang, kalau bisa dibantu nanti,” ungkapnya.
Akhirnya, melalui Erik, Tamin dapat berkomunikasi dengan Helpandi. Serta, ada permintaan uang seperti yang sudah disebutkan sebelumnya.
“Diserahkan di kantor saya. Saya tinggal di atas waktu, sebelum Hadi datang. Saya simpan di bawah laci. Saya ambil 280 ribu itu sesuai Helpandi punya permintaan. Sudah dibungkus tiga ikatan, 10 ribu, 10 ribu sama 8 ribu. Dibungkus amplop coklat,” tambahnya.
Sebelumnya, Merry diduga menerima suap sejumlah SGD280.000 melalui Helpandi dari Tamin Sukardi bersama Hadi. Suap ini diberikan agar Tamin divonis ringan dalam kasus korupsi penjualan tanah aset negara senilai Rp132 miliar lebih.
Dalam vonis yang dibacakan pada tanggal 27 Agustus 2018 ini, Merry menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) bahwa penjualan tanah senilai Rp132 miliar lebih itu bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Pada perkara ini, Tamin Sukardi bersama-sama dengan Hadi Setiawan alias Erik didakwa menyuap hakim Merry Purba melalui Helpandi sebesar 150.000 dollar Singapura. Selain kepada Merry, Tamin Sukardi juga berencana memberikan uang 130.000 dollar Singapura kepada hakim Sontan Merauke Sinaga.
Dalam dakwaan JPU KPK, terungkap rangkaian peristiwa yang berujung pada operasi tangkap tangan hingga penggunaan kode yang digunakan untuk mengelabui para penegak hukum.
Ini diawali dari Tamin selaku terdakwa di kasus pengalihan tanah negara miilik PTPN II kepada pihak lain seluas 106 hektar eks HGU PTPN II Tanjung Morawa di Pasar IV Desa Helvitia Kecamatan Labuhan Deli Serdang yang mengajukan permohonan pengalihan status tahanan, dari tahanan rutan ke tahanan rumah dengan alasan medis.
Selanjutnya, panitera pengganti Helpandi menyerahkan draf pengalihan status tahanan kepada tiga hakim yakni Merry Purba, Sontan Merauke Sinaga dan Wahyu Prasetyo Wibowo. Dalam membicarakan pemberian uang, dibuat kode-kode khusus. Setidaknya ada enam kode yang dibuat.
“Kode Wayan untuk Wahyu Prasetyo Wibowo selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan dan Ketua Majelis Hakim Perkara Nomor : 33/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn,” ungkap jaksa KPK, Luki Nurgoho di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selanjutnya kode pohon untuk uang, kode Baibaho untuk Ketua Pengadilan Negeri Medan, kode asisten untuk hakim anggota. “Ada juga kode Danau Toba, Dtoba, Dantob, Batak untuk Sontan Merauke Sinaga, terakhir kode Ratu Kecantikan untuk Merry Purba,” terang jaksa Luki Nugroho.
Di perkara ini Tamin dan Hadi didakwa telah melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentabf Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Artikel ini ditulis oleh: