Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf (kiri) bersiap menjalani sidang dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/11/2018). Irwandi Yusuf didakwa menerima suap terkait Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) 2018 dan menerima gratifikasi terkait pelaksanaan proyek pembangunan Dermaga Sabang yang dibiayai APBN Tahun Anggaran 2006-2011. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com – Penasehat khusus gubernur Aceh bidang politik dan keamanan, Mohammad MTA mengaku syok atas ditangkapnya Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, dia menyebut Irwandi berencana mengundang KPK untuk menyampaikan pemberantasan korupsi.

“Ketika Pak Gubernur ditangkap, saya merasa syok, aneh, karena saya secara khusus tidak pernah bicara proyek. Tapi kami bicara bagaimana mencegah potensi korupsi,” kata MTA di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (4/3).

MTA menjelaskan, sebelum Irwandi terjerat operasi tangkap tangan (OTT) oleh lembaga antirasuah, eks kombatan GAM sempat mengirimkan surat kepada KPK.

“Pada 3 April 2018, Gubernur (Irwandi) kirim surat kepada KPK untuk asistensi Pemprov Aceh,” ujar MTA.

Menurut dia, Irwandi ingin KPK hadir dalam persiapan pelantikan kepala dinas yang baru dipilih. Irwandi juga ingin KPK menyaksikan langsung penandatanganan pakta integritas oleh para pejabat Pemprov yang telah melalui seleksi rekam jejak.

Padahal, MTA menyebut, kehadiran KPK diharapkan dapat membuat seluruh satuan kerja perangkat daerah menghindari potensi korupsi selama menjabat.

“Agar KPK hadir dalam penyusunan strategi pencegahan korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa. Supaya proses tender tidak ada permainan,” tegas MTA.

Sementara itu, Irwandi Yusuf mengaku telah membuat lembaga Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAPA). Lemabaga tersebut di luar dari pemerintah Provinsi Aceh yang dibuat pada 2008.

“2008 ada namanya lembaga TAPA, tim anti korupsi pemerintah Aceh, saya bentuk,” ucap Irwandi.

Irwandi menyebut, dirinya terjerat kasus hukum di KPK karena melawan korupsi, kolusi dan nepostisme di Aceh. Menurutnya ada seorang pengusaha yang tidak berhasil menggarap proyek di Pemprov Aceh.

“Ironis ada pihak yang merasa tidak saya bantu proyek di Sabang senilai Rp220 miliar harga proyek, ada pengusaha yang ikut, lokal, tapi dia didukung oleh tokoh di Jakarta oleh petinggi-petinggi kita dan kalah. Sakit hati ke saya, ditambah politis,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin