Jakarta, Aktual.com – Pada Sabtu (6/4) pagi di GOR Bulungan, Jakarta, Titin perempuan lanjut usia mengikuti simulasi pemilu 2019.
Sekitar pukul 10.00 WIB, simulasi dimulai, dia diminta untuk ikut mendaftar, mengantre, masuk ke bilik suara hingga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.
Titin cukup kesulitan saat melakukan simulasi pencoblosan, menurut dia ukuran meja untuk mencoblos terlalu kecil, sedangkan kertas suara terlalu besar.
“Buat lansia akan sulit, soalnya kertasnya terlalu besar, kotak suara yang disediakan juga terlalu tinggi, sehingga sulit untuk memasukkan surat suara,” kata dia.
Lain lagi dengan Yatinah, buat dia tulisan nama-nama calon legislatif terlalu kecil sehingga sulit untuk membaca nama calon yang ingin dia coblos.
Pagi itu, 500 perempuan dari beberapa kelompok tengah mengikuti simulasi Pemilu 2019 yang diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama KAPAL Perempuan dan Migrant CARE.
Mereka datang dari berbagai latar ada perempuan penyandang disabilitas, lansia, ibu rumah tangga, perempuan miskin kota, perempuan muda, buta aksara, dan lainnya.
Hasilnya, sebagian besar perempuan mengatakan Pemilu serentak 2019 yang mengharuskan pemilih mencoblos lima surat atau empat suara khusus DKI adalah “njelimet” alias rumit.
Alasannya bermacam-macam, dari surat suara yang terlalu banyak, bingung mencari nomor urut partai atau nama calon anggota legislatif, ukuran kertas terlalu besar, hingga surat suara yang sulit dimasukkan ke dalam kotak suara.
Deputi Sekretaris Jenderal Bidang Program Koalisi Perempuan Indonesia Sutriyatmi mengatakan simulasi Pemilu diadakan untuk mengidentifikasi kesenjangan akses yang dialami kelompok perempuan penyandang disabilitas, lansia, dan pemilih pemula.
Kerumitan dan luasnya cakupan Pemilu 2019 serta kurangnya akses informasi bagi perempuan dan kelompok rentan, berpotensi menimbulkan kerawanan tidak sahnya suara mereka.
Koalisi Perempuan Indonesia menghitung waktu yang dibutuhkan satu orang untuk mencoblos, perempuan tanpa kerentanan membutuhkan waktu hingga lima menit, sementara kelompok lainnya membutuhkan waktu hingga tujuh menit untuk mencoblos.
“Berdasarkan simulasi yang tadi telah kita hitung, untuk perempuan yang tidak memiliki kerentanan membutuhkan waktu hampir lima menit,” kata perempuan yang dipanggil Mimi.
Namun bagi lansia, bisa membutuhkan waktu hingga tujuh menit, perempuan buta aksara membutuhkan waktu sekitar tujuh menit. Sementara itu perempuan dengan dua kerentanan yaitu lansia dan buta aksara membutuhkan waktu hingga sembilan menit.
“Ini simulasi dengan empat surat suara, bagaimana dengan daerah lain yang harus mencoblos lima surat suara pasti akan memakan waktu lebih lama,” kata dia.
Waktu-waktu yang dibutuhkan perempuan ini memang lebih lama dibandingkan hasil simulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah melakukan simulasi pemilu untuk masyarakat diberbagai tempat.
Jika diratakan, hasil dari KPU dari simulasi tersebut, satu orang membutuhkan waktu sekitar tiga menit untuk mencoblos lima surat suara.
Memang KPU tidak memberikan batas waktu kepada pemilih untuk mencoblos, namun panjangnya antrean saat mencoblos harus diantisipasi.
“Jika kita gunakan hitungan sederhana, satu TPS maksimal 300 orang, dengan waktu layanan sekitar enam jam dari pukul 07.00-13.00, maka satu orang harusnya mencoblos dalam waktu 1,2 menit,” kata dia.
Koalisi Perempuan Indonesia melihat beberapa kesulitan yang dialami perempuan seperti mencari nomor urut calon legislatif, partai, hingga satu surat suara yang lipatannya tebal dan tidak dilipat sesuai dengan lipatan aslinya akan sulit dimasukkan ke dalam kotak suara.
Kesulitan-kesulitan tersebut terjadi salah satunya karena kurangnya sosialisasi untuk pemilu 2019, dapat dibayangkan jika perempuan yang tinggal di DKI Jakarta pada umumnya mendapat akses informasi lebih banyak saja kesulitan dalam mencoblos, apalagi perempuan yang berada di daerah terpencil yang akses informasinya terbatas.
Menurut Mimi, pendidikan politik seperti ini harusnya juga dilakukan oleh partai politik dan calon legislatif.
Organisasi warga sipil seperti Koalisi Perempuan Indonesia juga turut melakukan edukasi politik namun ternyata masih kurang untuk membuat masyarakat paham tentang hak politik, bagaimana menggunakan hak tersebut serta teknisnya.
Dengan hasil dari simulasi dia berharap Pemilu 2019 tetap berjalan lancar meski harus diantisipasi kemungkinan masyarakat akan memilih secara asal terutama untuk calon legislatif.
“Kemungkinan besar jika sudah bingung orang akan mencoblos partainya saja, dan itu akan merugikan para caleg perempuan terutama yang namanya tidak berada di urutan satu, dua dan tiga,” kata dia.
Setelah ini, Koalisi Perempuan Indonesia akan kembali berdiskusi dengan pemilih akar rumput yang mereka dampingi untuk menemukan strategi-strategi yang harus digunakan dalam mencoblos nanti.
Pihaknya tetap menyarankan pemilih untuk tetap tenang dan tidak terburu-buru dalam mencoblos.
“Misalnya mereka terburu-buru lalu mereka bisa tidak mengikuti lipatan asli suratnya, sehingga memasukkan ke kotak suaranya jadi lama,” kata dia.
Dia juga meminta para perempuan sudah menghapal warna surat suara serta nama calon dan partai calon legislatif yang akan dipilih, agar sewaktu mencoblos tidak kesulitan lagi mencarinya.
Dia pun mendorong agar para pemilih perempuan untuk mencoblos caleg perempuan, hal ini dimaksudkan agar meningkatnya jumlah perempuan yang ada di kursi legislatif.
Hasil dari simulasi tersebut akan dijadikan rekomendasi bagi Komisi Pemilihan Umum untuk perbaikan pemilu ke depannya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan