Jakarta, Aktual.co — Tersangka kasus dugaan korupsi ‘Payment Gateway’ Denny Indrayana, mengklaim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung program pembayaran paspor secara elektronikronik di Kementrian Hukum dan HAM pada tahun 2014 lalu. Hanya saja, kata dia, lembaga antirasuah itu memberikan sejumlah catatan.
“Tentu dengan saran (KPK) agar ada koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan perkuat dasar hukum,” kata Denny di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, (2/4).
Dikatakan Denny, rekomendasi itu dikeluarkan saat Kementerian Hukum dan HAM melakukan rapat koordinasi dengan KPK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bank Indonesia, Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan PT KAI. “Kami memperoleh dukungan atas inovasi ini,” klaim Denny.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Rikwanto menyatakan, KPK memperingatkan Denny untuk tidak melanjutkan Payment Gateway. “Ada rekomendasi KPK bahwa proyek ini berisiko hukum,” kata Rikwanto beberapa waktu lalu.
Namun, saat disinggung KPK menyatakan tidak mendukung program pembayaran paspor secara online itu, Denny malah menolak menjabarkan alasannya dan ‘ngotot’ menjalankan program tersebut. “Saya pikir materi terkait yang lain. Nanti kami jawab,” ujarnya.
Dalam kasus ini, bekas Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Dirtipidkor Bareskrim Polri. Denny diduga kuat berperan besar dalam menjalankan sistem ‘Payment Gateway’ di Kementrian Hukum dan HAM pada 2014 lalu itu.
Bekas staf khusus bidang hukum Presiden SBY itu juga menunjuk langsung dua vendor yakni, PT Nusa Satu Inti Artha (Doku) dan, PT Telkom Indonesia melalui anak perusahaannya PT Finnet Indonesia, untuk menangani program tersebut.
Program pembayaran paspor secara elektronik ini beroperasi sejak Juli hingga Oktober 2014. Selama program ini berjalan, ada uang sebesar Rp 32 miliar yang tidak disetor langsung ke kas negara. Uang tersebut sempat mengendap satu hari di bank penampung. Penyidik juga menemukan adanya uang sekitar Rp 605 juta yang justru masuk ke rekening kedua vendor tersebut.
Atas perbuatannya, Denny dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby

















