Jakarta, Aktual.co — Sidang lanjutan gugatan praperadilan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) atas penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (2/4).
Dalam agenda persidangan kali ini, Hakim tunggal Tati Hadiati menegur Mudzakir, pakar hukum pidana yang didatangkan sebagai saksi ahli oleh tim pengacara SDA. Teguran itu dilontarkan Tati, ketika Mudzakir menyinggung kinerja aparat penegak hukum lain.
Kejadian tersebut bermula ketika salah satu anggota tim pengacara Suryadharma, Andreas Nahot, mengajukan pertanyaan kepada Mudzakir tentang wewenang limitatif lembaga praperadilan yang diatur di dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika merujuk pada pasal tersebut, maka lembaga praperadilan tidak diperkenankan menyidangkan persidangan atas gugatan penetapan tersangka seseorang. “Pasal 77 bisa tidak menjadi tidak limitatif dari sisi tinjauan filosofis?” kata Andreas di muka sidang.
Mudzakir kemudian mencontohkan saat dirinya diminta menjadi ahli dalam sebuah persidangan di Batam beberapa waktu lalu. Saat itu, ia mengkritisi kinerja penyidik yang menyita sejumlah barang milik tersangka tindak pidana korupsi.
Menurutnya, penyidik tak bisa menunjukkan hubungan sebab akibat disitanya barang dengan tindakan korupsi yang dilakukan pelaku. Penyidik hanya menyita barang yang diperoleh berdasarkan kronologi waktu tindak pidana itu terjadi.
“Penangkapan, penahanan dan penyitaan merupakan bagian dari upaya paksa. Sementara, upaya paksa tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UU. Saya sebutkan tadi bahwa akibat dari tindakan itu (penyitaan) menimbulkan kerugian dari pihak tersangka,” katanya.
Dia berpandangan, ketentuan Pasal 77 KUHAP seharusnya mengikuti perkembangan jaman. Pasal 77 memang mengatur secara eksplisit wewenang lembaga praperadilan. Namun, kata dia, pasal tersebut memiliki turunan di dalam Pasal 82 dan Pasal 95 KUHAP yang secara implisit memperbolehkan penetapan seorang tersangka diajukan gugatan praperadilan.
Tak sampai disitu, Mudzakir pun menyoroti Pasal 44 UU KPK yang menyatakan, bahwa sebelum menetapkan seorang tersangka penyelidik harus menemukan dua alat bukti yang cukup. Sementara, dua alat bukti itu berdasarkan tafsiran dari penyelidik.
“Dua alat bukti menurut UU KPK itu berdasarkan keyakinan penyidik. Begitu pula pengadilan, harus ada keyakinan dari hakim untuk memutus perkara. Dan ketentuan itu tidak tertulis di dalam UU,” katanya.
Lantas, usai mendengar pemaparan Mudzakir, hakim Tati kemudian menegurnya. Menurut Tati, Mudzakir seharusnya tidak memberikan tanggapan mengenai kinerja penegak hukum lain.
“Ahli tidak usah menilai kinerja penegak hukum lain. Tidak semua kinerja penyidik amburadul, dan tidak semua penasehat hukum brengsek,” cetusnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby