Jakarta, Aktual.co — Sidang lanjutan praperadilan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) atas penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali digelar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (1/4).
Dalam agenda sidang kali ini, kubu SDA selaku pemohon mengahadirkan saksi ahli untuk menjelaskan bagaimana seharusnya lembaga superbody tersebut menetapkan tersangka.
Pakar Hukum Pidana Dr Chairul Huda menilai penetapan tersangka dikatakan sah jika seseorang ditetapkan setelah adanya penemuan dua alat bukti saat proses penyidikan. Menurutnya, proses penyelidikan baru tahap awal dalam mencari peristiwa tindak pidana.
“Cukup dua bukti yang diperoleh dalam penyidikan itu, yang menjadi dasar menetapkan orang menjadi tersangka, tidak perlu 400 bukti,” kata Chairul Huda saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (1/4).
Meski demikian, kata dia, bukti tersebut harus ditemukan pada peristiwa tindak pidana, bukan membuat bukti yang tidak ada menjadi ada. Misalnya, tidak memiliki kewenangan menghitung sendiri adanya kerugian negara atas dugaan tidak pidana korupsi, tapi tetap melakukan penghitungan demi mendapatkan bukti.
Namun, menurut dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta itu berpandangan, apabila bukti tersebut tercipta bukan dari pencarian atau penemuan, maka penetapan tersangka dapat dipertimbangkan sah atau tidaknya.
“Kewenangan penyidik mencari peristiwa dari tindak pidana dengan dasar bukti. Mencari bukan membuat barang bukti. Mencari berarti bukti ada disuatu tempat tapi belum ketemu. Kalau menghitung sendiri itu namanya membuat bukti. Tidak bisa menjadi dasar adanya tindak pidana tidak ada kewenangannya. Itu namanya dibuat-buat sendiri. Jadi, yang harus dicari penyidik alat bukti tadi dan yang harus dibuktikan alat bukti tadi. Tapi jangan membuat. Kalau menghitung sendiri membuat menurut saya,” beber dia.
Bagian kerugian negara ini memang dipermasalahkan oleh kubu SDA. Karena, penyelidik KPK dituding menghitung sendiri kerugian negara tersebut tanpa melibatkan Badan Pusat Keuangan (BPK). Padahal, penghitungan kerugian negara merupakan kewenangan BPK bukan kewenangan KPK.
Sebelumnya, KPK menetapkan SDA sebagai tersangka kasus dugaan korupsi menyalahgunakan dana penyelenggaraan haji sebesar Rp1 triliun. Dana itu berasal dari APBN dan setoran calon jamaah haji melalui tabungan haji.
SDA diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 KUHP.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby

















