Jakarta, Aktual.co — Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) menyatakan bahwa kondisi sistem politik Indonesia yang carut marut ditambah dengan masalah otonomi daerah, adalah hal yang sangat sulit bagi PT Pertamina (Persero) untuk menjadi perusahaan yang berorientasi mencari keuntungan.

Berdasarkan UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, serta UU Tentang BUMN, Pertamina bukan lagi Badan Layanan Publik (BLU). Pertamina adalah perusahaan perusahaan yang berorientasi mencari keuntungan. Padahal perusahaan ini masih mendapatkan subsidi dari negara. Meski di era Pemerintahan Jokowi subsidi itu telah berkurang 300 persen.

Pengamat AEPI Salamudin Daeng menilai Pertamina telah dikendalikan oleh sindikat dan mafia yang berdiri dibalik kekuasaan Pemerintahan.

“Mereka mengendalikan impor, ekspor, belanja modal dan investasi yang kesemuanya dijadikan sebagai ajang “begal” mendapatkan jatah dalam belanja Pertamina,” kata Salamudin di Jakarta, Rabu (1/4).

Selain itu, lanjut dia, keuntungan dan pendapatan Pertamina juga harus disetorkan kepada pemerintah sebagai penerimaan negara, sehingga Perusahaan tidak dapat mengembangkan usahanya secara efektif. Ditambah lagi, para politisi yang berkuasa ditenggarai menjadikan Pertamina sebagai ajang pemerasan, mengeruk setoran, sebagai imbalan atas jabatan-jabatan dalam perusahan yang ditentukan oleh Pemerintah.

“Pertamina diperas dengan berbagai macam pajak, bunga, dan lain lain. Sehingga biaya yang ditanggung perusahaan sangat tinggi. Biaya lifting, refinary dan transportasi (LRT) perusahan mencapai USD24 per barel, pajak 15% dan beban bunga 10%. Semua itu menjadikan Pertamina sebagai perusahaan dengan biaya paling mahal sedunia,” ungkapnya.

Lanjutnya, sehingga perhitungan kasar dengan total pengolahan minyak 1,25 juta barel perhari, Pertamina harus mengeluarkan biaya sedikitnya Rp476 Triliun dalam setahun untuk belanja minyak mentah, biaya pajak, dan biaya  bunga.

“Sementara revenue yang diperoleh Pertamina pada tingkat harga yang berlaku sekarang, ditambah dengan subsidi APBN senilai Rp81 triliun sebesar Rp409 triliun. Menyedihkan memang,” imbuhnya.

Menurutnya, hal tersebut telah menjadikan Pertamina dalam keadaan sekarat lantaran merugi dengan jumlah yang cukup besar setiap bulan.  Sementara utang luar negeri Pertamina di pasar keuangan global telah mencapai Rp100 trilun lebih. Pertamina terancam disita oleh sindikat keuangan internasional karena tidak sanggup membayar utang utangnya.

“Satu-satunya cara adalah perusahaan Pertamina oleh manajemen dikembalikan kepada negara, untuk dijadikan sebagai Badan Layanan Publik (BLU) yang tidak berorientasi keuntungan. Dengan demikian Pertamina kembali pada roh pendiriannya sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan, kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka