Jakarta, Aktual.co — Indonesia harus segera mengantisipasi bahaya krisis minyak  dan gas (migas) yang mungkin terjadi pada 15 tahun mendatang. Demikian seperti disampaikan oleh Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (1/4).

“Produksi minyak nasional menurun, tidak sejalan dengan lonjakan konsumsi bahan bakar di dalam negeri yang terus tumbuh. Bahkan, pada 2030, permintaan energi mencapai 16 Quad BTUs di tahun 2030. Dengan tren industri migas di Indonesia, jika kita tidak melakukan sesuatu, bisa membawa kita kepada situasi krisis,” jelas Dwi Soetjipto.

Hingga saat ini, kata dia, Pertamina telah berhasil meningkatkan produksi minyak dan gas bumi rata-rata sebesar 7 persen dalam delapan tahun terakhir

Dalam setahun terakhir Pertamina pun telah diberikan kepercayaan penuh oleh pemerintah untuk mengelola blok-blok migas yang akan berakhir masa kontraknya, antara lain Blok Siak dan Blok Mahakam.

“Ini tentu saja menjadi tantangan, seberapa besar kemampuan Pertamina untuk dapat menjaga atau bahkan meningkatkan produksi dari blok-blok migas yang diserahkan pengelolaannya kepada Pertamina. Lagi-lagi, penguasaan dan kemandirian teknologi hulu akan memegang peranan penting, sebagaimana yang sudah Pertamina buktikan di Blok ONWJ dan Blok WMO,” ujar dia.

Harga minyak saat ini yang berada di kisaran USD60 per barel dan terus berfluktuasi sangat berimbas kepada Indonesia yang masih sangat bergantung kepada migas, inflasi dan neraca keuangan negara akan sangat terpengaruh, terlebih dengan adanya penguatan dolar Amerika Serikat.

Artikel ini ditulis oleh: