Jakarta, Aktual.co — Kedua pasangan muda suami-isteri berpakaian batik itu menatih bayi laki-lakinya agar kedua kakinya menginjak satu per satu tujuh jadah beraneka warna di atas wadah yang beralas ancak dan daun pisang, serta taburan kembang mawar.

Dalang Sih Agung Prasetyo berpakaian lengkap adat Jawa, melantunkan tembang berbahasa Jawa, dengan syair mengisahkan prosesi “Tedhak Siten” (turun bumi) sedang dijalani bayi berumur sebentar lagi lepas dari delapan bulan itu.

“‘Amiwiti mudhun bumi puniki, pinaringana wilujeng, si bocah bisa kalis, saking rubeda, nanging pinaringana rahaya, hayu hayu rahayu’ (Berikan keselamatan kepada bayi ini untuk memulai turun ke bumi, supaya bebas dari segala bahaya dan beroleh kebahagiaan, red.),” demikian tembang dilantunkan dalang yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.

Ditingkahi oleh kedua nenek yang berasal dari Jepang, Mami Kato, dan Karawang, Jawa Barat, Kustiarti, dengan wajah sumringah dan menepuk kedua tangan masing-masing, membuat bayi bernama Kinasih Wangsa Bumi, anak pasangan muda Shiki Raya Unisia dan Bayu Kartika, tersenyum tampak riang.

Ia melangkahkan kedua kakinya di atas jadah aneka warna yang di atas tanahnya bertaburkan kembang mawar warna merah dan putih. Sejumlah instalasi dari anyaman janur kuning mewarnai suasana di panggung terbuka, tempat prosesi “tedhak siten” tersebut.

“Mengingatkan kepada kita semua bahwa anak akan menghadapi tantangan kehidupan yang berbagai macam,” kata Sih Agung yang juga pengajar di salah satu SMA swasta di Kota Magelang itu.

Prosesi “tedhak siten” digelar oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung di panggung terbuka dan alami Studio Mendut di tepian alur Kali Pabelan Mati pada Jumat (15/5) tepat pukul 15.00 WIB dalam suasana cerah.

Anggota komunitas berasal dari Gunung Andong pimpinan Supadi Haryono menyuguhkan tarian “Topeng Ireng” di penghujung acara dalam kemasan sederhana namun meriah, sedangkan kelompok musik eksploratif bernama “Jodhokemil” pimpinan Arif Sigit Prasetyo menyuguhkan sejumlah tembang.

Suguhan sejumlah tembang dengan alat musik pentatonis dan diatonis tersebut, antara lain berjudul “Lali” dan “Mugo-Mugo” dengan syair-syair reflektif tentang kemanusiaan dan lingkungan sosial.

Selain itu, seorang bidan dari Secang yang juga pengurus Ikatan Bidang Indonesia (IBI) Kabupaten Magelang Wiwit Purwaningsih menyampaikan pidato kebudayaan tentang keluarga sehat melalui Gerakan Sayang Ibu dan Gerakan Sayang Bayi.

Seluruh mereka yang hadir menyantap hidangan tradisional berupa nasi tumpeng dan ingkung yang disiapkan oleh perempuan desa yang juga anggota Sanggar Wonoseni Desa Wononelo, Kecamatan Bandongan Nanik Rohmiyati dan anak putrinya yang juga salah satu mahasiswa kebidanan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, Dian Panca.

Rangkaian prosesi lainnya dalam tuntunan penuturan makna oleh sang dalang, dijalani si bayi laki-laki yang juga cucu pertama budayawan sekaligus inspirator utama Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut itu, yakni menaiki tujuh anak tangga terbuat dari tebu berinstalasi balutan kain berwarna putih.

Selain itu, bayi bernama Bumi tersebut juga dituntun memasuki kurungan dengan berbagai alat-alat dan aneka permainan anak dan selanjutnya dilakukan simbolisasi bayi dimandikan dengan air kembang oleh kedua orang tuanya.

Panggung Studio Mendut diinstalasi dengan berbagai benda, termasuk anyaman janur kuning oleh Sujono (Ketua Sanggar Saujana Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang) dan Khoirul Mutaqin (anggota Sanggar Wonoseni Bandongan), sedangkan pembawa acara prosesi “tedhak siten” adalah Riyadi (Ketua Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang) dari Gunung Merbabu.

“Supaya anak secara bertahap, berjuang dengan tekun dan penuh semangat melakukan perjalanan hidup mencapai cita-cita luhur yang tertinggi. Supaya kelak berguna bagi masyarakat, cinta kepada Tanah Air, menyayangi lingkungan dan menjaga kelestarian bumi seisinya,” begitu Dalang Sih Agung berasal dari Dusun Sudimoro, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang itu, menuturkan makna untuk si bayi itu ketika menaiki satu per satu anak tangga dari tebu.

Prosesi upacara adat “tedhak siten” sebagaimana disampaikan maknanya oleh sang dalang menandakan tahapan lebih maju atas pertumbuhan dan perkembangan anak.

Anak semakin mandiri, dari yang semula dalam gendongan kedua orang tua, kini mulai berjalan, menapaki bumi.

Tentu saja, bagi si bayi, belumlah diketahui apa yang sedang dijalaninya dalam prosesi adat itu. Apalagi menyangkut pemaknaannya.

Oleh karena itu, pada prosesi “tedhak siten” yang digelar komunitas beranggota para seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh tersebut, sang dalang juga menuturkan tentang tanggung jawab mulia orang tuanya kelak, untuk menyampaikan makna adat tersebut kepada si anak ketika sudah semakin besar.

“Bahwa hidup dan kehidupan itu di bumi. Setiap manusia membangun diri untuk bermakna dan mampu berbagi dengan sesamanya di bumi. Hidup haruslah membumi,” katanya.

Seluruh mereka yang hadir tak sekadar ikut menyaksikan prosesi tersebut secara kasat mata, namun seolah-olah dibawa hadir kepada suasana refleksi terkini atas pemaknaannya oleh Sutanto Mendut yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

“Upacara ‘mudhun bumi’ (kalimat lain yang digunakan Sutanto untuk ‘tedhak siten’, red.) menjadi kesadaran bersama paling mendasar kepada kita terhadap persoalan ekologi, ekosistem, yang lebih lanjut kepada ‘ekonegara’, ‘eko-city’, ‘ekodesa’, ‘ekokeluarga’. Itu dimulai dari ‘ekoanak’ dan ‘ekocucu’,” katanya.

Diakui bahwa renungan atas prosesi “tedhak siten” sebagai olah pemikiran kebudayaan bersumber dari nilai-nilai klasik yang pakem Jawa, peninggalan leluhur, dan pemaknaan kontemporer dari kumpulan wawasan empirisnya setelah perjalanan selama ini melanglang ke berbagai “bumi” orang Eropa, Asia, Amerika, Afrika, dan Australia.

Tentunya, refleksi itu diharapkan terpancar sebagai harapan kepada anak-anak dan generesi di bumi mendatang, supaya mereka pun kelak mencintai dan memperjuangkan kepentingan ekosistem bumi.

Dari bumi pulalah, manusia membangun penjelajahan pemikiran, perenungan, dan spiritualitasnya tentang alam semesta.

Artikel ini ditulis oleh: