Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Menko Perekonomian Darmin Nasution (ketiga kanan) dan Kepala BKPM Franky Sibarani (kanan) berbicara tentang Paket Kebijakan Ekonomi ke-12 dihadapan sejumlah wartawan ekonomi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/4). Paket Kebijakan Deregulasi ke-12 kali ini berisi tentang kemudahan memulai usaha bagi usaha kecil dan menengah melalui pengurangan jumlah prosedur, izin, hari dan biaya. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/pd/16.

Jakarta, Aktual.com – Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Hafidz Arfandi mengatakan bahwa Jokowi perlu berpikir lebih sistematis terkait fokus pembangunan ekonomi pada periode kedua pemerintahannya.

Gencarnya pembangunan infrastruktur, menurut dia, merupakan pilihan tepat yang dilakukan Jokowi pada periode pertama pemerintahan. Namun ada beberapa hal yang menurutnya harus dicermati, seperti pilihan infrastruktur yang dibuat, dan bagaimana strategi pembiayaannya.

“Silahkan infrastruktur terus ditingkatkan tetapi nilai tambahnya terhadap perekonomian harus dihitung secara cermat terutama yang dibiayai lewat skenario utang bilateral maupun utang BUMN,” katanya saat dihubungi, Kamis (27/6).

Hafidz menyoroti pemerintahan Jokowi banyak membangun infrastruktur yang skala utilitasnya rendah dengan alasan sebagai modal dasar mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang, seperti pembangunan jalan tol yang ternyata tidak diminati sebagai jalur utama logistik.

“Utilitas jalan tol justru lebih banyak menyedot mobil pribadi, padahal jika kita menginginkan percepatan pertumbuhan ekonomi, infrastruktur harus banyak dimanfaatkan sebagai lalu lintas logistik,” tegas dia.

Akibatnya peringkat Logistics Performance Index (LPI) Indonesia tahun 2018 masih jauh tertinggal dibanding negara-negara industri lainnya di kawasan Asia, meski urutannya naik di posisi 46 dan hanya unggul dibanding Filipina dan Bangladesh.

Dari sisi skema pembiayaan, Hafidz juga mengkritisi kebijakan pemerintah selama ini yang memaksa BUMN untuk turun tangan dengan skema Public Private Partnership (PPP), di mana pemerintah memberi insentif awal, namun sisanya BUMN harus cari pembiayaan sendiri lewat kredit maupun obligasi.

“Dalam jangka pendek mungkin positif karena BUMN akan tumbuh pesat baik dari sisi aset maupun likuiditas pembiayaan yang diterimanya, tetapi jika dipaksakan dalam jangka panjang akan berbahaya karena mereka terbiasa mengerjakan proyek yang tidak kompetitif lewat penugasan,” ujarnya.

Untuk itu, dia menyarankan periode kedua pemerintahan Jokowi, perlu menjadikan infrastruktur sebagai modal untuk menekan biaya produksi dan logistik bagi industri, serta memastikan infrastruktur menjamin konektivitas antara komoditas lokal dan industri pengolahan, yang selama ini hanya sebatas jargon saja.

“Pemerintah juga harus selektif dalam proyek infrastruktur terutama soal penggunaan komponen dalam negeri (TKDN) dan juga tenaga kerjanya, serta memastikan kualitas infrastruktur dan perencanaan anggaran untuk perawatannya ke depan,” katanya.

Antara

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan