Jakarta, aktual.com — Bursa pemilihan menteri makin menghangat. Sejumlah kalangan mulai dari ekonom hingga pengamat dan pakar politik mulai menyuarakan pendapat terkait pemilihan menteri untuk kabinet selanjutnya. Siapakah yang akan terpilih masih tanda tanya, tapi perlu dicermati rekam jejak pemerintahan negeri ini sebelumnya dalam hal pemilihan menteri pembantu presiden.
Apalagi jika sembarang memilih menteri, orkestrasi kabinet akan berjalan semrawut dan tanpa koordinasi. Pakar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menilai jika banyak beban tuntutan parpol dan nonparpol yang harus diakomodasi seperti era Jokowi saat ini, pemilihan sosok menteri yang tepat menjadi sangat krusial.
“Kalau terlalu banyak kompromistis seperti sekarang yang dilakukan Jokowi, ya dia akan berisiko untuk tak sukses seperti yang diinginkan,” kata Arbi, melalui siaran persnua di Jakarta, Kamis (25/7).
Dia membandingkan pemilihan menteri pada masa kepemimpinan Presiden kedua RI Soeharto. Sejauh pengamatannya, Bapak Pembangunan itu tidak terlalu mensyaratkan banyak hal saat menunjuk calon pembantunya.
“Pertama, (calon menteri) adalah orang yang bisa dia percaya, orang yang setia pada dia. Jadi, dia milih orang yang paham melakukan tugas itu, kedua, profesional. Jadi kesetiaan dan kemampuan,” ujar Arbi.
Ilmuwan politik senior itu telah mengobservasi atau mengamati Soeharto selama puluhan tahun kepemimpinannya. Sejak dulu, kata Arbi, kesetiaan dan kemampuan selalu menjadi tolok ukur wajib dimiliki kandidat menteri oleh Pak Harto.
Adapun syarat terakhir yakni mereka yang berasal dari Golkar. Menurut Arbi, untuk ketentuan yang terakhir itu, Soeharto betul-betul konsisten pada pengaderan partai pendukungnya.
Arbi melihat, komitmen yang dipegang Soeharto berbuah manis. Terutama dalam menunjang kerja-kerja pemerintahan di era orde baru. “Stabilitas politiknya terjamin, stabilitas pemerintahan terjamin, dan tujuan-tujuan pemerintah, program-program pemerintah terlaksana seefektif mungkin,” ucapnya.
Dia menilai konsistensi Pak Harto itulah yang membuat orkestrasi kabinet berjalan sesuai keinginan, terutama dalam menggenjot pembangunan di Tanah Air. Artinya, kata Arbi, akan berbeda ceritanya jika Soeharto sembarangan memilih menteri.
Intinya, Arbi melihat pemerintahan Soeharto paling strategis sepanjang sejarah Indonesia. Itu terlihat dalam pemilihan menteri dan kapabilitas pembantu presiden menjalankan program. Ditambah lagi tak presiden terlalu banyak berkompromi dengan keputusannya.
Sejumlah ekonom dan pengamat politik mulai gencar menyuarakan penilaian terkait sosok menteri yang layak dipertahankan ataupun sebaliknya. Pengamat politik sekaligus CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali, menyebutkan terdapat tiga nama menteri yang pantas masuk kembali pada jajaran kabinet baru Presiden Joko Widodo.
“Saya melihat beberapa orang punya prestasi yang bagus membantu presiden pada kabinet, dan seharusnya bisa dilanjutkan ke periode berikutnya,” kata Hasanuddin di Jakarta, Rabu (24/7).
Nama pertama yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, sejak pertama menjabat ia mulai berakselerasi, terutama soal menekan jumlah pencurian ikan di teritorial laut Indonesia. Nama selanjutnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, selama periode jabatanya di Kabinet Kerja pertama, ia dianggap mampu menjaga kondisi fiskal dan defisit anggaran. Nama terakhir yakni Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, dia dinilai berhasil merealisasikan misi pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama yang fokus terhadap pembangunan infrastruktur.
Sementara Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai empat menteri ekonomi wajib diganti dan tidak layak dipertahankan. Keempat menteri ekonomi itu menurut dia adalah menteri perdagangan, menteri koordinator perekonomian, menteri perindustrian, dan menteri BUMN.
“Menteri perdagangan wajib segera diganti karena kebijakannya tidak pro pengusaha dalam negeri misalnya soal gempuran impor besi baja China. Mendag juga sedang dalam proses penyidikan KPK. Sebaiknya diganti karena masalah integritas sangat penting,” kata Bhima, Rabu (24/7).
Bhima menerangkan, selain mendag, menko perekonomian juga dengan 16 paket kebijakannya dianggap belum efektif. “Menperin dan menteri BUMN juga masuk top list yang perlu diganti,” ujarnya.
Khusus terkait menteri BUMN, Bhima menyoroti utang BUMN yang semakin meningkat. “Itu cuma salah satu faktor (utang BUMN). Selain itu, beberapa BUMN kinerjanya berlanjut rugi seperti PT Krakatau Steel dan Garuda. Fraud laporan keuangan Garuda tapi tanpa ada perubahan direksi juga dinilai kebijakan ganjil. Ada lagi soal pengawasan BUMN kendor seperti kasus Sofjan Basyir eks dirut PLN yang diciduk KPK,” paparnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin