Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly saat rapat kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI membahas revisi UU MD3 di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/4). Revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) segera rampung pada Masa Persidangan IV yang akan berakhir pada pekan terakhir April 2017 AKTUAL/Tino Oktaviano
Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly saat rapat kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI membahas revisi UU MD3 di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/4). Revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) segera rampung pada Masa Persidangan IV yang akan berakhir pada pekan terakhir April 2017 AKTUAL/Tino Oktaviano
Jakarta, Aktual.com – Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly menyampaikan keprihatinannya terkait banyaknya pengguna narkotika yang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan).
“Ada satu keanehan kejahatan narkoba ini sudah melebihi 50% dari penghuni lapas dan rutan seluruh di di Indonesia,” ucap Yasonna saat dihubungi melalui telepon selulernya, Rabu (24/7).
Hal ini disampaikan Yasonna tidak hanya sebagai Menteri Hukum dan HAM saja, melainkan juga sebagai seorang akademisi yang melihat persoalan hukum dari banyak aspek. 
Yasonna baru saja diangkat dalam jabatan Profesor dengan status sebagai dosen tidak tetap dalam bidang Ilmu Kriminologi.
Surat pengangkatan tersebut ditandatangani Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir pada 11 Juli 2019. Persoalan hukum dan kriminal memang bukan hal yang asing bagi Yasonna, selama ini pun ia menjadi dodes tidak tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.
Yasonna melanjutkan, dia sangat ingin persoalan narkoba di Indonesia dapat ditangani secara holistik, tidak hanya dari segi penegakan hukum saja. Ia ingin ada kajian atau penelitian ilmiah yang dapat berkontribusi menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia.
Mengutip data Kementerian Hukum dan HAM akhir tahun 2018 lalu, diketahui bahwa penghuni lapas di Indonesia mencapai 256.273 orang. Sementara, kapasitas hunian lembaga pemasyarakatan hanya untuk 126.164 orang. Artinya, penghuni lapas mencapai 203% dari daya tampungnya.
Dalam laporan tersebut Yasonna mengatakan bahwa penambahan penghuni itu setiap tahunnya rata-rata mencapai angka 22 ribu orang. 
Rinciannya, pada 2017 jumlah penghuni lapas mencapai 232.080, meningkat dibandingkan pada 2016 yakni 204.549 orang, dan 2015 hanya sebanyak 173.572 orang. Sedangkan pada tahun 2018 meningkat 24.197 orang.
Masih mengutip data Kemenkumham tahun 2018, diketahui sejumlah narapidana khusus terdiri dari 5.110 napi korupsi, lalu 74.037 bandar narkoba, 41.252 napi narkoba pengguna, 441 napi teroris, 165 pencucian uang, dan 890 pelaku penebangan liar atau illegal logging.
Sebagai Menteri, Yasonna juga mendorong lembaga yang ia pimpin melakukan upaya dari segi akademisi untuk mengatasi persoalan narkoba di Indonesia.
“Itu sebabnya saya sudah meminta ada penelitian khusus yang kita lakukan tentang itu (narkoba),” tegas pria yang mendapatkan gelar Ph.D di North Carolina State University, Amerika Serikat pada tahun 1994 ini.
Yasonna yang juga tercatat sebagai anggota The American Society of Criminology serta anggota The Shoutern Sociological Society ini ingin pengalamannya dalam segi keilmuan dapat berkontribusi bagi masyarakat banyak.
“Dengan ini saya pasti berbakti dan melakukan tugas-tugas saya  sebagai seorang dosen di PTIK. Dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman saya di kriminologi, lalu di DPR terlebih di Menteri, yang berurusan juga dengan lapas. 
Pengalaman ini akan saya gunakan sebagai bahan-bahan kuliah dan ilmu pengetahuan atau mungkin juga di tempat-tempat lain yang mengundang saya sebagai dosen atau tenaga pengajar,” papar Yasonna.
Ia juga ingin pengalamannya tersebut dapat berkontribusi bagi lembaga penegak hukum ataupun instansi terkait yang memiliki andil dalam penanganan narkotika di Indonesia.
“Apakah kita mau melakukan pendekatan hukum atau pendekatan kesehatan,” tutur Yasonna.
Ia melanjutkan, jika pendekatannya adalah pendekatan kesehatan maka sudah pasti pemakai yang sudah bertahun-tahun jalan keluarnya hanyalah rehab bukan penjara. Hal inilah yang menurutnya dilakukan oleh negara-negara lain.
“Maka saya menyuruh litbang yang ada di kementerian kami untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif tentang kejahatan narkotika. Yang dilakukan ini sekarang nanti saya mau tahu hasilnya, datanya yang banyak supaya menjadi bahan kami untuk melakukan analisis,” papar Yasonna
Terpisah, Anggota Kompolnas, Andrea Poeloengan menyebutkan dalam hal rehabilitasi, public figure yang ketahuan menggunakan narkoba menurutnya jangan lagi hanya direhabilitasi singkat. 
Sebaiknya rehabilitasi dilakukan selama 2 hingga 3 tahun dilanjutkan dengan hukuman kerja sosial minimal 3 tahun. “Dan dicabut hak profesinya. Selain mereka dijatuhi hukuman pidananya,” ucap Andrea. 
Namun menurut dia, sanksi ini tidak berlaku bagi mereka yang sudah terlebih dahulu mengaku dan memohon untuk dilakukan rehabilitasi minimal 2 tahun.
Ia melanjutkan, politikus yang kedapatan melakukan kejahatan terkait narkotika dicabut hak profesinya dengan tidak boleh lagi terjun di bidang politik, kemudian advokat tidak boleh lagi beracara, artis tidak boleh lagi bekerja yang berhubungan dengan keartisan dan seni.
Selain itu ia juga menyebut bahwa sudah perlu diterapkan upaya represif terkait penindakan di dalam lapas. Menurutnya, siapa saja yang ketahuan terlibat peredaran langsung tembak di tempat. 
Sedangkan yang hanya memakai langsung dibuang di LP yang terpencil dengan tambahan hukuman minimal 5 tahun serta termasuk di dalamnya direhabilitasi di LP yang terpencil tersebut selama minimal 1 tahun.
Andrea juga berpendapat bahwa pengguna narkoba yang berusia di bawah 23 tahun, tidak perlu dikenakan pidana atau tindakan tambahan. “Cukup dipidana berdasarkan UU Narkotika, rehabilitasi dan kerja sosial,” tandasnya. 

Artikel ini ditulis oleh: