Jakarta, aktual.com – Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andrea menilai perlu ada kebijakan yang memperkuat antisipasi terhadap fenomena dampak kekeringan dan prediksi kemarau berkepanjangan terhadap produksi pangan di berbagai daerah Nusantara.

“Luas panen diperkirakan akan menurun di atas 500 ribu hektare dibanding pada 2018. Itu minimum,” katanya dalam rilis yang diterima di Jakarta, Rabu (28/8).

Menurut Andreas, penurunan luas panen tersebut disebabkan mundurnya musim tanam, baik musim tanam pertama pada musim hujan, maupun musim tanam kedua pada musim gadu (padi yang ditanam pada musim kemarau).

“Perhitungan saya, penurunan produksi beras kira-kira dua juta ton, itu paling optimis. Bisa lebih dari dua juta ton,” ujarnya.

Karena itu, menurut dia, pemerintah harus benar-benar waspada dan tidak terbuai dengan data yang menyebutkan ada potensi surplus sekitar 4 juta ton hingga September 2019. “Hitungan itu tidak memperhitungkan masa paceklik sampai Februari atau Maret tahun depan,” katanya.

Ia menambahkan, dapat dipastikan mulai Oktober sampai Februari neraca akan defisit.

Di sisi lain, indikasi penurunan jumlah produksi beras sudah terlihat, yakni dari harga gabah kering panen (GKP) yang sudah hampir mencapai Rp6 ribu.

Berkaca dari pengalaman pada 2018, Andreas melihat bahwa pemerintah terkesan tidak melakukan analisis dan hitungan yang tepat.

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Hary Tirto Djatmiko kepada sejumlah media menyatakan bahwa kemarau tahun ini akan lebih kering bila dibandingkan 2018.

“Itu akan berdampak di beberapa sektor. Pertanian yang tidak ada hujan. Sektor sumber daya air yang dampaknya pada ketersediaan air, dan lingkungan yang berpotensi karhutla,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi menyampaikan bahwa ada potensi penurunan panen atau produksi  karena kekeringan.

“Ini yang harus diantisipasi pemerintah, jangan sampai pasokan bahan pangan itu turun sehingga harga naik,” kata Yoga.

Sebelumnya, Kementerian Pertanian menyatakan kekeringan yang melanda areal sawah di berbagai daerah pada musim kemarau bisa diatasi dengan pompanisasi dan pembuatan embung air.

“Kami masih mencari solusi. Tapi untuk sementara ini, bisa dengan pompanisasi dan pembuatan embung air,” kata Sarwo Edhi, Dirjen Prasarana dan Sarana Kementan, saat meninjau sawah kekeringan di Purwakarta, Rabu (24/7)

Untuk pompanisasi, selama tiga tahun terakhir pemerintah pusat telah menyalurkan bantuan 100 ribu mesin pompa di seluruh Indonesia.

Pada tahun ini, kata dia, sudah ada sekitar 20 ribu permohonan bantuan pompanisasi. Selain itu, banyak pula petani yang meminta bantuan selang air sepanjang 7.390 meter.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin