Jakarta, Aktual.com – Warga dan pedagang di sekitar sentra bisnis Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan Gunung Sahari Jakarta, mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mengkaji kembali kebijakan perluasan ganjil-genap di kawasan tersebut.
Hal itu disampaikan ratusan perwakilan warga dan pedagang di Pasar Hayam Wuruk Indah (HWI) Lindeteves, Glodok, Jakarta Barat, Jumat (30/8) malam.
“Kami para pedagang dan warga sekitar di sentra bisnis ini menyatakan sikap bahwa ganjil genap bukan solusi masalah polusi di Jakarta. Kami menyatakan sepakat menjadi pelopor untuk menghijaukan Jakarta. Maju kotanya, bahagia warganya…!” demikian pernyataan sikap warga dan pedagang yang disampaikan.
Eka, salah seorang perwakilan pedagang Pasar Glodok mengatakan, sejak uji coba perluasan kawasan ganjil-genap yang dimulai pada 12 Agustus 2019 lalu, omset para pedagang menurun hingga 50%.
“Terus terang kami merasa amat sangat dirugikan karena keadaan sekarang udah sepi ditambah lagi ada ganjil-genap maka makin bertambah sepi. Dengan berkurangnya income, dikawatirkan adalah dampaknya akan menjadi dampak domino kemana-mana,” kata Eka.
“Kami operational jalan terus, gaji karyawan jalan terus, itu kan menjadi dampak yang sangat tidak menguntungkan bagi kami semua bukan hanya pedagang. Dampaknya dagangan sudah 2 minggu sepi, penurunan omset saat uji coba ini menurun hingga 50%,” sambungnya.
Untuk itu, Eka meminta Pemprov DKI mengkaji kembali perluasan ganjil-genap di kawasan tersebut, pasalnya banyak warga yang dirugikan khususnya para pedagang.
“Harapannya mohon dikaji ulang, apakah ini sebuah kebijakan yang benar-benar membawa dampak yang berguna bagi masyarakat atau tidak. Karena di sini yang akan terimbas akibatnya adalah ami semua masyarakat. Kalau bisa dibatalkan itu lebih baik tapi kalau tidak bisa diundur dulu biar kita mencari solusi yang lebih baik lebih bijak,” ucap dia.
Sementara itu, Ketua Koperasi Pasar (Koppas) HWI Lindeteves Chandra Suwono mengungkapkan, perluasan sistem ganjil-genap di Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk, Gunung Sahari, bukan solusi mengatasi kemacetan.
Chandra menerangkan, kepadatan kendaraan di sejumlah ruas jalan tersebut biasanya terjadi hanya pada saat jam kantor dan itupun diakibatkan oleh traffic light yang jaraknya berdekatan.
“Ganjil genap ini kan alasannya ada dua. Pertama terkait masalah emisi atau polusi yang kedua adalah kemacetan. Untuk kemacetan misalnya untuk Jalan Gunung Sahari. Gunung Sahari itu dari Glodok, dari Ancol sampai dengan Pasar Senen itu kira-kira jaraknya dua kilometer, itu ada tujuh traffic light, itulah sumber kemacetan sebetulnya,” tutur Candra.
“Kalau terkait Gajah Mada dan Hayam Wuruk enggak macet, dia hanya ada ramai ketika jam kantor karena itu masalahnya sama traffic light, tetapi itu kendaraan tetap padat merayap, gak stuck, gak diam. Oleh karena itu jalan tersebut gak perlu ada ganjil genap,” sarannya.
Ditambahkannya, untuk kawasan Gunung Sahari, perluasan ganjil genap tidak berdampak signifikan dalam mengurangi kepadatan lalu lintas dibanding dengan membangun flyover. “Solusinya untuk Jalan Gunung Sahari saya pikir Pak Gubernur harus respons ini, solusinya itu flyover seperti di Jembatan Dua dan Jembatan Tiga,” imbuhnya.
Selain itu, Chandra menilai tidak tepat jika penerapan ganjil-genap dianggap mengurangi polusi udara. Sebab, polusi terbanyak bukan disebabkan oleh mobil. Dia menyebut kendaraan roda dua justru menghasilkan emisi lebih banyak.
“Sebetulnya kontribusi mobil (untuk emisi) itu sedikit karena sistem pembakaran mobil itu hampir mendekati zero emission. mungkin 10 tahun lagi produk mobil zero emissions. Maaf ya, kontribusi sepeda motor untuk emis itu luar biasa,” terangnya.
Lebih lanjut, Candra mengusulkan agar dalam mengatasi masalah polusi, sebaiknya Pemprov DKI membuat gerakan menghijaukan Jakarta ketimbang membuat kebijakan ganjil-genap yang justru merugikan rakyat.
“Sehingga tak hanya karena masalah ini (polusi udara) selalu dibatasi mobil dengan ganjil-genap. Itu saya pikir kurang tepat mungkin ada cara-cara yang lain. Kalau solusi mengurangi emisi, salah satunya bagaimana menghijaukan Jakarta. Karena kita tahu kalau pohon itu kan menghasilkan oksigen, oksigen itu kan mencuci polusi,” jelas Candra.
Senada dengan Chandra, Koordinator Forum Rakyat Lieus Sungkharisma juga mendukung gerakan menghijaukan Jakarta. Bahkan ia bersama warga di kawasan Glodok menggagas Gerakan Warga Gila Tanaman (Wagiman) yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran warga ibu kota tentang pentingnya menanam pohon dan menghijaukan lingkungan sekitar.
“Saya lihat kalau Jakarta semuanya buat gerakan Wagiman itu selesai (masalah polusi), hijau, asri, enggak perlu lagi itu perluasan ganjil-genap. Karena saya tahu persis ganjil-genap ini diperluas karena polusi Jakarta sudah semakin dasyat,” ucapnya.
Lieus menyebut, sebagian besar warga di kawasan Glodok sudah mulai menanam pohon. Mereka sudah mengetahui polusi udara di Jakarta memprihatinkan.
“Jadi saya lihat pedagang, warga di sini, toko-toko itu udah mulai taruh pot, masang pohon, asri itu. Ini kalau kita semua serempak dasyat itu. Jadi kalau gak ada lahan buat tanah pohon bisa di pot. Kalau lahan kosong dihijaukan,” pungkasnya.
Diketahui, sosialisasi perluasan ganjil-genap dimulai pada 12 Agustus 2019 dan akan berakhir pada 6 September 2019. Penerapan sanksi bagi pelanggar ganjil-genap akan dimulai pada 9 September 2019.
Artikel ini ditulis oleh: