Jakarta, Aktual.co — Tersangka kasus dugaan korupsi ‘payment gateway’ Denny Indrayana memiliki peran sentral dalam kasus yang melibatkan dua vendor yakni PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia.
Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Charliyan mengatakan, Denny berperan untuk menginstruksikan penunjukan dua vendor dalam pelayanan sistem paspor secara elektronik, sekaligus fasilitator untuk mengoperasikan sistem tersebut.
“Satu rekening dibuka atas nama dua vendor itu. Uang disetorkan ke sana, baru disetorkan ke bendahara negara. Nah, ini yang menyalahi aturan, harusnya langsung ke bendahara negara,” ujar Anton di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (25/3).
Dikatakan Anton, penyidik masih menunggu hasil audit kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam program tersebut. Adapun perkara yang bergulir sejak Juli hingga Oktober 2014 itu kerugian negara mencapai Rp 32.093.692.000 atau 32 milyar, serta dugaan adanya pungutan tidak sah (Pungli) sebesar Rp 605 juta.
Sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana terus bermanuver untuk menggol kan pelayanan sistem tersebut. Kendati para staf di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM tak setuju dengan program itu. Namun, Denny tetap ngotot agar sistem layanan tersebut berjalan.
“Sebelumnya, ada proyek yang dilaksanakan, namanya Simponi. Ini program pembuatan paspor secara elektronik juga, malahan tidak dipungut biaya. Tapi Denny tetap mau sistem payment gateway yang berjalan,” lanjut Anton.
Soal apakah ada aliran dana dari rekening itu ke rekening pribadi Denny, Anton mengakui hal itu masih dalam penyelidikan lebih lanjut. Begitu juga soal apakah ada keterkaitan antara dua vendor tersebut dengan pribadi Denny. Anton juga mengatakan bahwa kemungkinan akan ada yang dijadikan tersangka lagi setelah Denny.
“Bukan hanya satu tersangka, tapi baru satu. Karena tersangka ini akan merembet ke yang lain,” ujar Anton.
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sebagai tersangka. Denny diduga kuat menyalahgunakan wewenang dalam program sistem pembayaran pembuatan paspor secara elektronik.
Penyidik mengenakan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby