Jakarta, Aktual.co — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012, tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan.
Penggagas Indonesia Prison Studies, Ahmad Taufik menilai, PP 99 tersebut sebagai penyempitan aturan pemasyarakatan seperti yang tertuang dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
“PP 99 ini berlaku diskriminatif, kan semua aturan hukum sama dimata hukum, napi maling ayam, koruptor, teroris sama dimata hukum. Dia kan manusia juga. Nah PP ini telah mnyempitkan,” kata Taufik ketika berbincang dengan Aktual.co, Rabu (25/3).
Dia mengku tahu apa yang dirasakan oleh setiap narapidana, terlebih Taufik pernah merasakan mejadi warga binaan. Sehingga PP ini dirasa perlu untuk diperbaiki.
“Saya tahu bagaimana napi, narapidana korupsi juga perlu mendapatkan keadilan,” kata mantan calon pimpinan KPK ini.
Dia menilai, aturan PP yang saat ini berjalan justru penegak hukum telah mengintervensi kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dalam menjalankan fungsi untuk membina para narapidana.
“Nah, ini gara-gara ada aturan PP 99 memungkinkan penegak hukum lain mengintervensi,” kata dia.
Namun demikian, sejalan dengan campur tangan penegak hukum memungkinkan adanya tindak pidana korupsi lain. Dia pun mencontohkan, seperti kalangan yang berduit bisa melakukan pembelian remisi tersebut.
“Karena ada aturan ini, dia bisa beli itu remisi. Nah di PP ini ada korupsi lain, dengan cara tak jujur, mungkin pada Kejaksaan, KPK,” kata dia.
Seperti yang diketahui wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan disebut telah diketahui DPR. Meski tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR, rencana revisi PP 99/2012 didukung DPR.
“Itu waktu raker (rapat kerja) lalu (DPR dukung revisi PP),” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Minggu (22/3).
Dia menyatakan bahwa PP 99/2012 memang bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan. “Pasti (bertentangan) kalau dilekatkan,” ujarnya.
Dalam PP 99/2012 memang terdapat aturan mengenai pengetatan remisi terhadap narapidana kejahatan khusus, yaitu kasus korupsi, terorisme, dan narkotika.
Pada Pasal 34 B dijelaskan, remisi diberikan menteri setelah mendapatkan pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. Artinya, apabila narapidana itu terkait kasus korupsi, lembaga terkait yang dimaksud adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal inilah yang dinilai bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.
Laporan: Wisnu Yusep
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby

















