Jakarta, Aktual.com – Salah-satu buah reformasi adalah perubahan mendasar dalam mekanisme pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung. Perubahan ini bukan-lah sesuatu yang ujuk-ujuk terjadi, pengalaman pahit berada di bawah rezim otoriter dengan legitimasi absolut MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah pokok perkaranya.
MPR berubah wujud menjadi “stempel” kekuasaan dan di sisi lain presiden menjelma bagai dewa yang anti kritik, menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.
Perjuangan panjang kaum intelektual dan dukungan dari masyarakat luas dan berbagai kelompok kepentingan akhirnya menumbangkan rezim otoriter beserta perangkat pendukungnya.
Transisi dari rezim otoriter ke era domokratis memang tidak selalu berjalan mulus, namun itu tidak serta-merta menjadi alasan untuk kembali ke fase kelam di bawah sistem yang dulu telah melahirkan otoritarianisme.
Komplikasi persoalan pemilu langsung harus diselesaikan dengan pikiran jernih bukan reaksioner sehingga melahirkan solusi jitu bukan dengan mengambil jalan pikiran pintas karena malas bersitegang dengan pikiran dan gagal dalam membangun dealetika berfikir.
Indikasi malas berfikir dan gagal dalam berlogika itu tergambar dengan sangat jelas, ketika problematika dan solusi yang ditawarkan tidak nyambung sama-sekali. Jika persoalan politik berbiaya tinggi, politik uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik menjadi argumen utama untuk menghapus pemilu langsung maka solusinya bukan serta-merta mengganti sistem.
Lalu apakah dipikirkan soal konsekuensi/mudarat dipilih MPR, menggapa kita mudah lupa sejarah bagaimana instabilitas pemerintahan, di tengah jalan presiden sangat mudah di impeachmen/dijatuhkan, jelas tidak sekuat legitimasi presiden dipilih langsung, tidak mudah menjatuhkan presiden di tengah jalan hanya karena soal like or dislike. Dijatuhkan Gusdur di tengah jalan oleh MPR mestinya cukup menjadi pembelajaran penting bagi kita betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR.
Masih sangat terbuka solusi dan alternatif lain untuk menekan dan meminimalisir hal tersebut melalui paket sekelas undang-undang pemilu, bukan ujuk-ujuk amandemen konstitusi.
Paket undang-undang pemilu tersebut sudah lama menjadi wacana terkait pembiayaan politik, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, mahar politik dan penegakan hukum terkait pelanggaran pemilu.
Selama upaya perbaikan sistem pemilu belum dilakukan secara optimal, maka sangat naif sekali rasanya menyalahkan pilihan sistem ini dan kemudian menggantinya dengan pilihan sistem lain yang telah terbukti membawa bangsa ini ke dalam sejarah kelam. Atau jangan-jangan mereka yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter itu sedang menyusun kekuatan, mereka sudah tidak sabar untuk kembali berkuasa.
By: Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan