Jakarta, aktual.com – Anak yang sejak lahir telah terinfeksi oleh virus HIV harus membutuhkan perhatian khusus, baik secara fisik maupun moral, agar ia bisa tumbuh sebagaimana anak biasanya.
Bayi yang positif terinfeksi HIV karena penularan dari ibunya yang juga positif, harus meminum susu formula untuk menghindari penularan virus lebih lanjut dari air susu ibu.
Selain itu, sama halnya dengan orang dewasa, anak dengan HIV juga harus mengonsumsi obat antiretro viral (ARV) seumur hidupnya yang bahkan lebih lama dari orang dewasa yang positif. Tujuannya menekan jumlah virus yang bisa membuat sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan gampang sakit.
Dari sisi moral, hingga kini masih ada pemberitaan anak Sekolah Dasar yang didiskriminasi oleh orang-orang di lingkungannya dan ditolak untuk bersekolah atau tinggal di daerah tertentu. Stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap orang yang hidup dengan HIV maupun AIDS hingga kini masih ada.
Padahal, orang dengan HIV tidak ada beda dengan orang dengan penyakit hipertensi atau diabetes yang harus minum obat seumur hidup. Kehidupan mereka baik-baik saja, dan masyarakat pun tidak perlu takut akan penularan karena HIV sangat sulit menular. Tidak seperti penyakit TBC, demam berdarah, atau cacar.
Jani (bukan nama sebenarnya) yang tampak baik-baik saja dan sehat dengan penuh keingintahuan dan semangat belajarnya tekun menggunakan tetikus di tangan kirinya sambil matanya awas melihat layar komputer jinjing.
Dia membantu mengerjakan beberapa tugas yang bersifat administratif di Lentera Anak Pelangi (LAP), program layanan masyarakat yang berfokus pada pendampingan anak dengan HIV di DKI Jakarta. Jani adalah salah satu anak dengan HIV yang mendapatkan pendampingan dari LAP.
Ada alasan mengapa Jani menggunakan tangan kirinya dalam bekerja. Tangan kanan Jani memiliki keterbatasan yang membuatnya tidak bisa menggenggam dan berbentuk tidak seperti biasanya.
Hal itu baru dialami Jani satu tahun yang lalu, saat dirinya harus diopname karena daya tahan tubuhnya menurun sehingga terinfeksi parasit toksoplasma. Penyakit toksoplasmosis itu mengakibatkan gangguan pada tangannya hingga kini.
Sebagai seorang yang hidup dengan HIV, Jani memiliki masalah dengan sistem kekebalan tubuh yang membuatnya lebih rentan terinfeksi virus atau bakteri sehingga menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit.
Jani terpaksa dirawat di rumah sakit dan meninggalkan kegiatan Melukis Pelangi yang amat disukainya, yaitu acara yang diadakan LAP setiap tahun dengan mengajak anak-anak dengan HIV bermalam di Puncak Bogor yang diisi bermacam kegiatan.
Tidak patuh meminum obat terapi antiretroviral virus (ARV) secara rutin adalah penyebab Jani terinfeksi toksoplasma. Namun sejak kejadian itu, Jani merasa kapok dan tak mau lagi melewatkan mengonsumsi obat ARV. Dia hanya tersipu malu ketika ditanya apakah rajin meminum obat ARV atau tidak.
Tak ada beda antara Jani yang berusia 17 tahun dan baru lulus SMA dengan remaja putri usia 17 tahun lainnya. Dia menyukai drama Korea dan artis-artis K-POP, dia senang menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya untuk saling curhat sambil makan siang di luar, dan dia juga memiliki mimpi yang ingin digapai seperti remaja lain dalam menatap masa depan.
“Mau jadi manajer,” katanya pelan sambil malu-malu mengungkapkan cita-citanya. Manajer perusahaan dan bekerja kantoran adalah cita-cita Jani, anak perempuan yang terinfeksi HIV sejak lahir.
Kedua orang tua Jani sudah meninggal, kini dia tinggal di rumah tantenya. Namun semangat terus berjuang sangat kentara terlihat di matanya yang tegas walau kepribadiannya sedikit pemalu.
Bagi Jani, LAP yang sudah mendampinginya sejak masih SMP hingga kini bagai rumah dan keluarga baru baginya. Di Lentara Anak Pelangi itulah Jani mendapatkan dukungan secara lahir dan batin. Di LAP pula Jani memiliki teman baru yang juga sepenanggungan dengannya sebagai anak yang hidup dengan HIV.
“Erin sama Fida (bukan nama sebenarnya),” kata Jani menyebutkan dua orang sahabat yang sama-sama hidup dengan HIV, yang ia temui setelah bergabung dalam pendampingan LAP.
Jani sama seperti remaja lainnya. Dia baik-baik saja. Jani hanya harus mengonsumsi obat ARV setiap hari untuk menekan jumlah virus HIV yang ada di dalam tubuhnya.
Estimasi
Kementerian Kesehatan pada 2016 mengestimasikan jumlah kasus HIV dan AIDS 640.443 orang. Data hingga Juni 2019 total akumulasi kasus HIV sejak 2005 sebanyak 349.882 orang, atau sekitar separuhnya dari estimasi kasus di Indonesia.
Kasus HIV pada anak memang cukup kecil. Kasus HIV yang dilaporkan pada 2019, yaitu 22.600 orang terinfeksi, sekitar lima persen dialami oleh usia di bawah empat tahun hingga 19 tahun.
Kasus HIV pada anak bisa ditularkan dari ibu yang positif HIVÂ saat proses persalinan ataupun melalui air susu ibu. Sebenarnya, persentase penularan dari ibu ke anak 2-10 persen dan melalui ASI bisa hingga 20 persen.
Namun, ibu yang positif HIV bisa melahirkan anak yang bebas dari virus tersebut dengan menggunakan terapi antiretro viral (ARV) untuk menekan jumlah virus dalam tubuh hingga tidak terdeteksi lagi.
Manajer Advokasi LAPÂ Natasya Sitorus mengungkapkan salah satu tantangan yang dihadapi dalam menangani anak dengan HIV adalah tidak tersedianya obat ARV dengan dosis khusus anak.
Pemerintah yang memasok obat ARV dan memberikannya secara gratis kepada orang yang hidup dengan HIV ataupun AIDS sebenarnya juga memiliki obat ARV bentuk sirup khusus untuk anak. Namun, ketersediaan obat itu sangat sulit ditemui.
Ketua Panli HIV AIDS PIMS Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD mengatakan masalah sedikitnya pasokan obat ARV untuk anak karena kelompok anak yang positif HIV juga hanya sedikit. Hal itu menyulitkan industri farmasi untuk mengimpor obat ARV anak karena jumlah yang tidak besar.
Alhasil, selama ini para anak yang hidup dengan HIV terpaksa mengonsumsi obat ARV dosis dewasa dengan cara memotong tablet menjadi dua atau sepertiga bagian.
Tantangan lain dalam mendampingi anak dengan HIV ialah mengenai memberikan pemahaman HIV itu sendiri dan kepatuhan minum obat ARV.
Anak dengan HIV yang masih duduk di Sekolah Dasar tentu sulit mengerti tentang HIV yang ada pada dirinya, apa penyebab, dan dampaknya, serta kenapa harus meminum obat namun badannya sehat walafiat.
“Banyak anak yang bertanya, sampai kapan sih aku minum obat terus,” kata Natasya menggambarkan kebosanan anak-anak tersebut dalam mengonsumsi obat ARV.
Padahal obat ARV harus diminum seumur hidup untuk menekan virus HIV dalam tubuh dan mencegah dari berbagai penyakit bila virus tersebut kembali merebak.
Dari anak-anak yang didampingi oleh LAP selama 2009, rata-rata telah yatim piatu karena orang tua yang juga positif HIV dan harus diasuh oleh nenek ataupun tantenya.
Saat ini, banyak orang dewasa positif HIV dan mengakui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Mereka ingin mengubah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap penyakit tersebut.
Namun, bagi anak-anak dengan HIV, status mereka masih sangat dirahasiakan. Hal itu, untuk menghindari stigma dan diskriminasi di masyarakat Indonesia. [Eko Priyanto]
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin