Semarang, aktual.com – Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono memandang perlu pendidikan politik bagi rakyat supaya mereka tidak memilih eks narapidana koruptor pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020.
“Bicara idealisme membangun pemerintahan yang bersih, kalau dari segi hukum, eks koruptor tidak bisa disetop atau dikurangi, tentu dari segi pendidikan politik didorong supaya orang-orang tidak memilih eks napi koruptor,” kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Kamis (12/12).
Teguh yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip mengemukakan hal itu ketika merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan persyaratan calon peserta pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah.
Pada amar putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada hari Rabu (11/12), Ketua MK Anwar Usman mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem.
Anwar menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.
Menyinggung hal itu, Teguh yang pernah sebagai Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip menilai apa yang diajukan aktivis itu bertujuan supaya pemilih lupa akan orang itu atau mulai dari nol.
Akan tetapi, lanjut dia, kepentingan politik selalu bermain. Bahkan, di semua keputusan hukum selalu ada keputusan politik itu.
Soal eks narapidana kasus korupsi masih berpeluang menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020, menurut Teguh, sebetulnya ini bergantung pada perspektifnya.
“Jadi, kalau lembaga pemasyarakatan dinilai sebagai lembaga yang ditujukan untuk memasyarakatkan orang, membuat orang lebih baik, siapa pun yang jadi narapidana, ya, bisa menjadi calon karena itu hak konstitusional,” kata Teguh Yuwono.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin