Jakarta, Aktual.co — Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta pemerintah mempertimbangkan besaran kutipan dana stabilisasi biodiesel berkelanjutan yang direncanakan sekitar 50 dolar AS per ton CPO (crude palm oil) yang diekspor karena bisa merugikan petani.
“DMSI bersama semua asosiasi mulai Gapki, AIMMI, Apkasindo, Apolin, Aprobi, Maksi dan GGPI menilai dana kutipan 50 dolar AS itu sangat merugikan saat harga ekspor CPO sedang jatuh. Yang merugikan pengusaha dan petani,” kata Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun di Medan, ditulis Selasa (24/3).
Dirinya mencontohkan, kalau pengutipan 50 dolar AS per ton itu dilakukan pada saat harga patokan ekspor 625 dolar per ton, maka kutipan itu sudah 8 persen sehingga jauh lebih besar dari tarif 7,5 persen untuk penetapan bea keluar (BK).
Padahal Pemerintah mengaku memberlakukan pengutipan 30-50 dolar AS per ton itu jika harga CPO berada di bawah 750 dolar AS per ton yang selama ini dijadikan harga patokan ekspor untuk penetapan BK.
“Kebijakan itu tentunya sangat memberatkan, karena dengan potongan sebesar itu, harga TBS akan turun 10 dolar AS per ton atau Rp130 per kg,” katanya.
Derom menegaskan, kalau memang harga bisa naik akibat kebijakan Pemerintah Indonesia yang menekan ekspor CPO kemudian dialihkan untuk biodiesel seperti asumsi Pemerintah maka harga yang turun sebesar Rp130 per kg itu tentunya memang tidak merugikan petani.
Tetapi, kalau harga di pasar internasional nyatanya tidak terdongkrak naik seperti dewasa ini di sekitar 624 dolar AS per ton di Rotterdam, maka kebijakan itu merugikan petani.
“Makanya DMS dan asosiasi lainnya keberatan dengan besaran pemotongan dana stabilisasi biodiesel berkelanjutan yang diwacanakan Pemerintah sebesar 50 dolar AS per ton untuk CPO dan 30 dolar AS bagi produk olahan CPO,”katanya.
Di satu sisi, kata Bangun, DMSI mengapresiasi langkah Pemerintah untuk menyiapkan dana stabilisasi itu karena selain implementasi program biodiesel bisa berjalan lancar juga bisa membantu petani melakukan peremajaan dan termasuk untuk dana riset.
“Tetapi tentunya harus dipikirkan matang-matang agar tidak merugikan petani termasuk soal adanya rencana penurunan batas bawah harga patokan ekspor dari 750 dolar AS per ton menjadi 500-550 dolar AS per ton,”katanya.
Dia menegaskan, DMSI, bisa menerima penurunan batas bawah itu kalau tarifnya kurang dari 7,5 persen dewasa ini menjadi 4 persen.
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asmar Arsyad menyebutkan, kalau harga TBS turun lagi dari saat ini yang sekitar Rp1.000 per kg, maka akan merugikan petani.
Alasan dia, harga Rp1.000 per kg saja, petani tidak diuntungkan meski tidak merugi atau istilahnya pulang modal.
“Kapan lagi petani bisa sejahtera kalau harga TBS-pun tidak menjanjikan seperti karet dan lainnya dewasa ini,”katanya.
Makanya, kata dia, Apkasindo juga meminta Pemerintah mempertimbangan besaran kutipan dana stabilisasi dan penurunan batas tarif bawah penerapan BK CPO tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka
















