Jakarta, Aktual.co — Kinerja pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dibidang perekonomian mulai dipertanyakan. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi salah satu indikasinya.
Padahal, dua pekan lalu pemerintahan Jokowi-JK baru saja melansir delapan paket insentif di bidang ekonomi. Dimana salah satu tujuannya untuk menahan laju pelemahan rupiah dalam jangka menengah dan panjang.
Akan tetapi, pasar justru merespon secara berbeda. Sehari setelah munculnya delapan paket insentif, nilai tukar dolar justru menguat ke titik tertinggi sejak krisis 1998. Tercatat sempat menyentuh Rp 13.245. Setelah itu stabil di level jual Rp 13.200-an.
Penilaian demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Perindo Hendrik Kawilarang Luntungan dalam keterangannya, Senin (23/3).
Menurutnya, apa yang terjadi belakangan ini menunjukkan pemerintahan Jokowi kurang responsif dalam menghadapi persoalan ekonomi. Hal yang disebutnya tidak lepas dari penunjukan tim ekonomi yang ditekankan pada kedekatan dibanding pertimbangan profesionalitas dan kapabilitas.
Sejak awal, Hendrik meragukan Tim Ekonomi Kabinet Kerja, sebab tidak memiliki kemampuan moneter dan fiskal yang mumpuni. Padahal lemahnya nilai tukar rupiah misalnya, sudah terjadi sejak Desember tahun lalu.
“Baru sekarang pemerintah bereaksi. Itupun bukan langkah taktis, melainkan untuk jangka menengah dan panjang,” kata dia.
Pemerintah, ditambahkan dia juga sengaja membiarkan inflasi terjadi. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pencabutan subsidi BBM yang membuat harga bahan pokok melambung. Berikut kebijakan penghapusan beras miskin, permainan mafia beras dan kenaikan TDL awal Januari.
“Rakyat dan pasar sudah (mulai) kehilangan trust kepada Jokowi-JK,” tegas Luntungan.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka
















