Jakarta, aktual.com – Tanggal 19 Desember 2019 menjadi hari yang layak untuk mendiskusikan ragam ancaman bangsa di era modern.

Hari itu, 71 tahun silam Soekarno-Hatta ditangkap Belanda lalu diasingkan. Ibu kota Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda meskipun Indonesia tetap berdaulat melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di bawah pimpinan Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat.

Hari itu lantas diperingati sebagai Hari Bela Negara. Hari untuk memperingati perjuangan anak bangsa mempertaruhkan jiwa raganya untuk keutuhan NKRI dari ancaman bangsa luar.

Ini waktu yang tepat untuk merenungkan kembali model kecintaan anak bangsa pada tanah airnya, Indonesia di era modern.

Di era modern bentuk ancaman terhadap bangsa ini tentu berubah. Dari sudut pandang humaniora, menurut Yudi Latif, ancaman bangsa kali ini bukan lagi berbentuk konvensional seperti serangan musuh bersenjata, tetapi justeru dari dalam seperti sikap intoleransi maupun ekstremisme cara pandang.

Demikian pula dari sisi lingkungan, ancaman bangsa Indonesia tak juga sederhana. Kita tentu sudah menyaksikan jalan di seputaran Istana Negara lebih dari lima kali terendam banjir hingga setinggi 50 cm.

Demikian pula jalan-jalan di sekitar Senayan, tempat para wakil rakyat berkantor baru saja terendam genangan air yang mengundang perbincangan publik.

Sejarah juga membuktikan beberapa negeri hancur karena bencana yang sering kali karena ulah manusia seperti banjir. Sebut saja Negeri Saba di era kuno yang musnah karena banjir.

Sementara, Belanda pun sempat hancur oleh banjir, tetapi bangkit kembali setelah mampu mengatasinya dengan teknologi folder penahan rob dan banjir.

Dari perspektif lingkungan, Indonesia dan dunia pada umumnya juga banyak menghadapi ancaman yang berbahaya bila tak segera ditangani serius.

Ilmuwan lingkungan Australia, Alex B. Mc Bratney, merumuskan bahwa dunia tengah menghadapi ancaman enam krisis lingkungan yang disebut krisis global.

Krisis yang dimaksud adalah krisis pangan sehat, krisis air bersih, krisis energi terbarukan, krisis iklim yang bersahabat, krisis kesehatan manusia, dan krisis keanekaragaman hayati sebagai penyokong ekosistem manusia.

Para ilmuwan mencoba mengatasi keenam krisis tersebut dengan mempromosikan penerapan konsep food security, water security, energy security, climate mitigation, human healthy, dan biodiversity.

Menurut Bratney, pangkal dari keenam krisis itu adalah krisis tanah berkualitas (soil crisis). Tanah rusak membuatnya kehilangan kemampuan menyediakan pangan sehat, air bersih, dan energi terbarukan. Tanah terpolusi menyebabkan manusia yang hidup di atasnya sakit.

Pada tanah yang rusak pula keanekaragaman makhluk hidup yang tinggal di dalamnya maupun di atasnya terancam. Demikian pula tanah gambut yang rusak terbakar turut memicu perubahan iklim global.

Pada kasus banjir, tanah kehabisan ruang pori karena pemadatan tanah sehingga kehilangan kemampuan menyimpan air. Ruang pori yang ada lalu jenuh air sehingga air yang harusnya tersimpan dalam tanah menggenang dan meluber di permukaan.

Banjir semakin parah karena permukaan tanah banyak “tersegel” aspal, beton, dan bangunan di atasnya yang disebut dengan fenomena soil sealing. Air terhalang masuk ke dalam tanah karena terperangkap di permukaan.

Bratney lantas mengajukan konsep soil security atau keamanan tanah untuk mengatasi enam krisis lingkungan tersebut.

Sejumlah ilmuwan dunia yang dipelopori oleh ilmuwan Universitas Sydney, Australia, lantas mendefinisikan soil security sebagai upaya menjaga dan meningkatkan sumber daya tanah untuk menghasilkan pangan (food) yang sehat, serat (fibre), penyimpan dan penyedia air (water) bersih sehingga terwujud keberlanjutan energi dan iklim yang mampu menjaga keanekaragaman hayati dan perlindungan ekosistem.

Pada konteks di atas, Indonesia sudah semestinya semakin meningkatkan perhatiannya terhadap tanah untuk mengatasi krisis global.

Pemahaman para pengambil kebijakan yang baik tentang tanah dapat menghindarkan bangsa ini dari sejumlah bencana yang bakal mengancam.

Ungkapan membela tanah air yang lazimnya dimaknai secara metaforis untuk merujuk pada membela bangsa dan negara juga sudah saatnya dimaknai secara tekstual, tanah dan air.

Sudah saatnya para pihak terkait memberi perhatian lebih pada tanah secara “soil centris” untuk membantu mengatasi ancaman bangsa yang inkonvensional yaitu krisis tanah. Selamat Hari Bela Negara. Destika Cahyana SP MSc. (Eko priyanto)

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin