Mataram, aktual.com – Palang Merah Indonesia (PMI) didukung The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) menyalurkan Bantuan Non Tunai (BNT/Cash Voucher Assistance (CVA) senilai Rp7 juta kepada 4.000 kepala keluarga yang terdampak gempa di tiga kabupaten di Nusa Tenggara Barat.

Ketiga kabupaten itu, yakni Lombok Utara (Desa Salut, Loloan, dan Pendua), Lombok Timur (Desa Belanting, dan Darakunci) dan Lombok Barat (Desa Guntur Macan, Dopang, dan Mambalan).

Parmin, Koordinator BNT Nasional dan Palang Merah Indonesia Markas Pusat, melalui siaran pers yang diterima Antara di Mataram, Minggu malam menyebutkan sebelum memperoleh buku tabungan dan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) yang direncanakan akan dilakukan pada tanggal 23-27 Desember 2019, penerima manfaat mengikuti beberapa tahapan kegiatan yang meliputi proses verifikasi, sosialisasi program, distribusi Kartu Penerima Manfaat (KPM), Cash Literacy atau sesi pengelolaan dana bantuan dan terakhir tahap pendistribusian buku tabungan dan kartu ATM.

Saat ini, kata dia, warga sudah melalui tahap sosialisasi dan distribusi KPM sejak 15 Desember 2019, sosialisasi tersebut dilakukan guna memberikan informasi kepada warga mengenai kriteria penerima bantuan, tahapan program dan bagaimana penggunaan dana bantuan, yang kemudian dilanjutkan dengan pendistribusian KPM.

KPM ini digunakan sebagai tanda pengenal sah penerima manfaat BNT saat pengambilan Buku Tabungan dan Kartu ATM dari pihak Bank Mandiri.

“Diharapkan kita dapat menyelesaikan proses transfer ke rekening semua penerima manfaat paling lambat hingga Januari 2020 sehingga masyarakat terdampak gempa Lombok ini dapat segera mencairkan dana tersebut untuk kemudian digunakan membeli material bangunan yang dibutuhkan untuk memperbaiki hunian mereka, ataupun untuk memperbaiki jamban atau dapur yang rusak, karena dampak gempa. Sehingga rumahnya menjadi rumah sehat, bermartabat dan lebih aman. Sebanyak 110 Relawan dilibatkan sejak awal proses ini dan kami akan terus memberi dukungan teknis terkait penggunaan BNT oleh masyarakat,” katanya.

Parmin juga menjelaskan, penyaluran bantuan dilakukan dalam dua tahap transfer,. Tahap pertama, warga memperoleh 60 persen dari total bantuan dan sisanya 40 persen akan ditransfer satu bulan setelah penyaluran tahap pertama.

Sementara itu, Field Coordinator IFRC untuk Lombok Christie Samosir menjelaskan nilai bantuan ini bukan hanya terletak pada jumlah uang, melainkan pada proses yang berlangsung, dimana PMI bersama IFRC juga memberikan edukasi, promosi dan mendorong kesadaran masyarakat pascagempa ini, terkait pentingnya sanitasi, dan mitigasi bencana dengan menerapkan prinsip-prinsip membangun yang lebih aman (build back safer principles).

“Sejak awal proses ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan transparan dimana masyarakat memahami kriteria pemilihan penerima bantuan dan juga terlibat dalam memberikan suara terhadap daftar penerima manfaat. Kami memprioritaskan kelompok yang rentan seperti perempuan yang menjadi kepala keluarga dan keluarga dengan anggota ibu hamil, Lansia dan disabilitas,” katanya.

Para relawan PMI, kata dia, bahkan mengunjungi mereka yang sakit dan papah serta memproses langsung tahap-tahap penerimaan bantuan ini sehingga mereka tetap mendapatkan haknya mengingat bantuan ini tidak bisa diwakilkan. Mereka juga mendapatkan edukasi dan pengetahuan dalam sesi Cash Literacy yang wajib mereka ikuti.

Sesi ini selain untuk memberi pemahaman tentang pengelolaan dana bantuan, juga memberikan pemahaman teknis terkait prinsip-prinsip membangun rumah yang lebih aman dan promosi kebersihan, termasuk disain dan prinsip dalam membangun jamban yang sehat. Kami juga menginformasikan bahan material yang baik dan tidak berdampak pada kesehatan, termasuk membangun kesadaran tentang penggunaan material asbestos. Proses pendistribusian pun harus berlangsung secara bermartabat, katanya.

Penyebaran informasi mengenai program bantuan juga dilakukan melalui media KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) yang dibagikan kepada penerima manfaat dan juga kepada perwakilan pemerintah desa, sehingga bisa menjangkau dan dipahami oleh semua kelompok masyarakat termasuk kelompok dengan kebutuhan khusus secara inklusif. Keseluruhan proses ini menjamin keterbukaan dan keterlibatan penuh penerima manfaat. (Eko Priyanto)

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin