Jakarta, aktual.com – Pengamat ekonomi-politik Fakhry Ali menilai Indonesia merugi apabila menghentikan ekspor benih lobster ke luar negeri.
“Sebenarnya rugi, begitu. Pandangan saya, sekarang ini setiap usaha yang kita bisa peroleh devisa, itu harus kita lakukan,” ujar Fakhry Ali usai menghadiri diskusi Outlook Indonesia Ekonomi-Politik Indonesia 2020 di Jalan Imam Bonjol No. 16 Jakarta, Minggu (29/12).
Ia menambahkan, Indonesia harus mengoptimalkan apa saja yang bisa diekspor ke luar negeri, termasuk mengekspor benih lobster.
Apalagi, melihat perkembangan ekonomi global di dunia sampai akhir tahun 2019 yang belum tampak akan menjadi lebih cerah (brighter).
Menurut dia, pengecualian terjadi apabila Presiden Amerika Serikat Donald Trump tiba-tiba kalah dalam Pemilihan Presiden AS mendatang.
“Pada akhir tahun 2019, kita tidak melihat perekonomian global itu akan brighter, akan lebih bercahaya begitu. Setidak-tidaknya kita tidak tahu kalau misalnya Trump tiba-tiba kalah, mungkin akan berbeda,” ujar dia.
Menurut dia, Indonesia akan sulit meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke depan yang lebih baik dari 5,3 persen apabila tidak mendorong ekspor karena berada di masa stagnan dan inflasi (stagflasi) dunia seperti saat ini.
“Persoalannya, kita harus mengekspor. Pertumbuhan ekonomi kita betul 65 persen didukung oleh konsumsi domestik. Tetapi kebutuhan memenuhi barang dan jasa pada tingkat domestik tetap memerlukan impor. Impor itu akan menghabiskan devisa. Kalau kita tidak menghasilkan devisa, devisanya dari mana? Ya dari ekspor,” ujar Fakhry.
Ia berpikir apabila nanti permintaan dunia pada ekspor dari Indonesia menurun, tentu akan berakibat pada konsumsi domestik.
Dulu, pemerintah Orde Baru pernah merespons permasalahan tersebut dengan mengeluarkan kebijakan substitusi impor, di mana barang yang harus diimpor diproduksi sendiri oleh negara.
Namun, kebijakan tersebut tidak mudah dilakukan karena saat ini di setiap sudut dunia sudah memiliki jagoan-jagoan yang menentukan pasar dari setiap produk hilirisasi yang diproduksi sendiri oleh negaranya.
“Pada awal tahun 1990-an, gagasan itu sudah tidak laku lagi karena mereka (pemerintah dunia) berpikirnya sudah global (supply) chain, dan kebijakan tersebut dianggap kita tidak turut membangun suatu perekonomian global yang bebas,” kata Fakhry. (Eko Priyanto)
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin