Jakarta, aktual.com – Putusan tidak biasa diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam kasus gugatan sengketa tanah antara warga dan pemerintah. Majelis hakim memvonis tidak ada yang menang dan kalah alias seri dalam kasus tersebut.
Vonis itu tertuang dalam memori putusan bernomor 30/Pdt.G/2019/PN.Sbw. Dalam perkara sengketa tanah ini sebagai penggugat I adalah Lili Boenita dan penggugat II Jossy Hartanto. Sebagai tergugat I adalah Pemkab Sumbawa Besar, tergugat II PT Brantas Abipraya (Persero), tergugat III Dinas PUPR RI, tergugat IV Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Balai KPH Puncak Ngengas Batulanteh Sumbawa Besar, dan tergugat V Kementerian PUPR RI, dan tergugat VI Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Jossy Hartanto cukup heran dengan putusan ‘banci’ dari Majelis Hakim PN Sumbawa Besar tersebut. Dia mengaku baru kali mengetahui ada vonis yang tidak memenangkan satu pihak pun.
“Pengadilan itu kan harapan rakyat kecil seperti kami. Saat hak-hak kami dirampas oleh negara, apakah pengadilan takut sama institusi negara, sehingga tidak memenangkan pihak penggugat yang secara gamblang memang memiliki data valid dan otentik atas kepemilikan lahan. Apakah pengadilan juga takut sama hukum Tuhan, karena tidak berani memenangkan pihak yang bersalah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sumbawa Besar dan pihak-pihak yang dimasukkan dalam gugatan, yang menyerobot tanah kami,” kata Jossy Hartanto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (26/1).
Dijelaskan, perkara sengketa ini bermula dari pembangunan proyek Bendungan Beringin Sila di Kecamatan utan, Kabupaten Sumbawa Besar. Ada beberapa tanah warga yang masuk dalam area proyek , tapi tidak mendapatkan ganti rugi dari pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa Besar menganggap bahwa tanah warga itu berada di kawasan hutan lindung. Namun belakang diketahui dalam salinan putusan sidang, ada sebagian warga yang sudah menerima pembayaran ganti rugi dengan nilai beragam.
“Bupati pernah menawar dan ingin membeli tanah kami seharga Rp100 juta/hektare, tapi kami tolak. Saya mendapatkan tanah tersebut atas dasar hak waris sepeninggalnya ayah saya. Ayah saya membeli tanah tersebut dari pemilik pertama yang telah tinggal di tanah tersebut sejak 60 tahun lalu. Selama ini saya selalu membayar pajak hingga tahun 2018, sebelum proyek Bendungan Beringin Sila ini dikerjakan,” kata Jossy.
Jossy mengungkapkan jika tanahnya masuk dalam area hutan lindung, mengapa tanah yang berada di atas lahannya, malah mendapatkan ganti rugi. Yang menjadi keanehan lain adalah warga tidak diberikan kuitansi atau bukti tanda terima pembayaran atas ganti rugi tanahnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin