Jakarta, aktual.com – Masih layakah Otoritas Jasa Keuangan dipertahankan? Celetukan itu muncul setelah OJK menjadi sorotan publik perihal kasus PT Asuransi Jiwasraya, yang mengalahkan kasus Bank Century dalam hal merugikan keuangan negara.

Kasus Jiwasraya juga menjadi bukti nyata, OJK gagal mengawasi lembaga keuangan nonbank, dalam hal ini asuransi.

Direktur Riset Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia Pieter Abdullah, menganggap pengawasan Jiwasraya oleh OJK lemah. Itu dilihat dari nilai kerugian yang mengalahkan semua kasus korupsi di Indonesia. Kelemahan itu juga diindikasikan dari pilihan produk investasi dengan risiko tinggi, dibiarkan begitu saja oleh OJK.

“Kalau dibilang terlalu, ini memang berat sekali, memang seharusnya tidak terjadi, banyak sekali faktor dalam masalah ini. Intinya kasus Jiwasraya sekarang ini membuktikan bahwa pengawasan OJK lemah,” kata Piter, melalui siaran persnya di Jakarta, Senin (27/1).

Dengan kasus Jiwasraya, maka harus diakui, bahwa kualitas pengaturan pengawasan di OJK itu belum sama antara tiga bidang yaitu perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan non bank.

Karena itu, seharusnya komioner OJK harus bertanggung jawab. Juga, segera berbenah dan memacu kualitas pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan non bank termasuk asuransi. Jika OJK tak dibenahi, bukan tak mungkin kejadian serupa terulang.

“Pembenahan mutlak, agar permasalahan ini tak kembali terulang,” tegas Piter.

Senada, Direktur Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai bahwa OJK pasti tahu mengenai aliran dana investasi Jiwasraya.

Bahkan Daeng menyindir, kejahatan di kelembagaan keuangan yang ada sekarang, terjadi karena kesalahan OJK, dan seringkali kasus-kasus itu menguap hilang begitu saja.

Daeng curiga, terdapat unsur pembiaran dari OJK terkait Jiwasraya yang melakukan investasi di saham berisiko, ataupun terkait produk investasinya.

“Bukti itu terlihat jelas dari OJK yang sebenarnya tahu potensi gagal bayar Jiwasraya pada Januari 2018 lalu. Tapi, sampai Oktober 2018, OJK nampak bersikap pasif dan terkesan membuang badan,” kata Deang.

Mengacu pada kasus Jiwasraya, Daeng menilai bahwa bahwa OJK telah gagal dalam menjalankan perannya. Para komisioner OJK harus bertanggungjawab mengapa sampai kasus Jiwasraya terjadi. Bahkan kalau perlu diproses dan diperiksa.

Sementara itu, Kejaksaan Agung membentuk tim khusus pelacakan dan pemulihan aset terkait dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Tim akan bekerja melacak aset dari para tersangka kasus dugaan korupsi Jiwasraya baik di dalam maupun luar negeri.

“Tugas pokoknya antara lain mengidentifikasi dan menginvetarisasi berbagai aset terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pada Jiwasraya,” kata Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Hari Setiyono di kantornya, Jumat (24/1).

Hari menjelaskan, tim pelacakan aset ini terdiri dari Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, dan Pusat Pemulihan Aset yang terdiri dari Asisten Umum, Asisten Khusus Jaksa Agung.) Tim tersebut bekerja sama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dana mencurigakan dalam transaksi Jiwasraya. Hari menyebut tidak menutup kemungkinan hasil pelacakan aset ini akan dikembangkan terhadap tindak pidana pencucian uang.

Tersangka Jiwasraya juga berpotensi bertambah. Kejagung sudah menetapkan 13 nama untuk dicekal ke luar negeri, dan 5 diantaranya sudah ditetapkan menjadi tersangka. Tidak menutup kemungkinan, dari 8 nama yang dicekal dan belum ditetapkan menjadi tersangka akan mengalami nasib yang sama dengan 5 tersangka yang sudah ditetapkan.

Sejauh ini, Kejagung baru menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Dirut PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo, mantan Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018 Hendrisman Rahim dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin