Surabaya, Aktual.com – Tekad Pemerintah untuk menurunkan harga gas bumi patut diapresiasi. Apalagi tingginya harga gas bumi dikeluhkan dunia industri pengguna gas selama lebih dari sepuluh tahun terakhir dan diyakini menjadi faktor negatif dalam perekonomian nasional.
Meskipun Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Harga Gas Bumi telah diterbitkan sejak 2016, namun demikian pelaksanaannya sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Para pihak tidak mudah bersepakat mengenai bagaimana caranya.
Para pihak cenderung mempertahankan pundi sumber pendapatannya. Bahkan ada usulan agar Pemerintah melepaskan bagian negara dari bagi hasil produksi gas pada kegiatan hulu migas. Artinya, negara mendapatkan nol persen dari produk gas yang diusahakan dari perut bumi milik negara.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) yang juga Praktisi Energi, Mukhtasor menyatakan, “Faktor pembentuk harga gas bumi itu ada di sisi hulu yaitu biaya produksi, dan ada di sisi hilir yaitu biaya transportasi dan biaya niaga. Pemerintah jangan sampai gelap mata, sehingga upaya menurunkan harga gas diputuskan at all cost. Asal harga bisa turun meskipun mengorbankan kepentingan yang lebih obyektif. Misalnya, ide menghapus pendapatan negara dalam kontrak bagi hasil gas bumi itu bisa menjadi blunder jangka panjang.”
Menurut Mukhtasor, argumentasi yang relevan untuk hal ini ada dua bagian. Pertama, persoalan yang dominan dalam kaitannya dengan penurunan harga gas dan mendesak agar dibenahi itu adanya di sisi hilir. Bukan di sisi hulu.
“Pemerintah perlu menghilangkan potensi monopoli gas bumi oleh perusahaan yg tidak sepenuhnya dikuasai oleh negara, seperti PGN. Caranya dimulai dengan menetapkan larangan bagi pelaku bisnis transporter gas merangkap peran sekaligus berbinis jualan gas. Apalagi kalau juga merangkap berbisnis sebagai produsen gas. Itu menyebabkan daya tawar industri pengguna gas jatuh merosot tajam dalam hal negosiasi harga. Ingat, meskipun saham PGN telah dibeli oleh Pertamina, namun PGN adalah perusahaan terbuka. Keberadaan saham publik apalagi asing bisa menyebabkan Pemerintah tidak mampu mengendalikan secara efektif orientasi mencari untung sebanyak-banyaknya. Kecenderungan kearah monopoli seperti ini tidak boleh dibiarkan,” demikian Mukhtasor menjelaskan.
Pria yang pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) ini melanjutkan, “Kedua, ketika pendapatan negara dari gas bumi dihapuskan, dengan komposisi bagi hasil yang berlaku saat ini, upaya itu tidak akan dapat mencapai target harga gas yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu $ 6 per MMBTU. Namun sebaliknya, penghapusan bagian negara dari produksi gas akan menjadi faktor yang menyulitkan keuangan negara. Apalagi kondisi perekonomian yang sudah sulit.”
Mukhtasor menambahkan, “Penghapusan bagian negara mungkin dimaksudkan sebagai insentif. Semacam subsidi tidak langsung. Praktek ini tidak konsisten dengan kebijakan yang sedang dijalankan Pemerintah, dimana subsidi diarahkan tepat sasaran kepada pengguna. Praktek ini dalam skala tertentu dan secara bertahap telah dilaksanakan oleh Pemerintah pada tata niaga listrik dan BBM.”
Alternatifnya, menurut Mukhtasor, jika pemerintah hendak memberi insentif untuk meningkatkan daya saing industri pengguna gas, bagian negara dapat tetap diambil oleh Pemerintah dan hasilnya digunakan untuk program peningkatan daya saing tersebut.
“Di sisi lain, penghapusan bagian negara dari produksi gas bumi akan menjadi preseden buruk di masa depan. Kalau sekarang bagian negara pada bagi hasil gas itu dihapus, nanti di kemudian hari akan semakin sulit untuk meningkatkan pemasukan APBN dari sektor migas, pada saat yang sama beban subsidi listrik dan BBM sudah berat,” pungkas Mukhtasor.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan