Sebagai ideologi dan dasar Negara, tentulah Pancasila dituntut untuk dapat hadir dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sendiri dapat dilihat sebagai ideologi “paling unik” dari keseluruhan ideologi bangsa yang pernah ada di dunia. Disebut begitu, karena dapat dibayangkan bagaimana keseluruhan nilai, filsafat serta cita-cita berbangsa di Indonesia dapat disimpul hanya dalam lima poin (lima sila) saja.
Menyadari hal ini, tentu diperlukan penafsiran secara komperhensif atas kelima sila tersebut dalam kaitannya dengan keseluruhan dimensi kehidupan yang mesti didasarinya. Pancasila perlu ditafsirkan secara hirarkis, mulai dari ranah intuisional, rasional hingga empirikal bahkan praktikal. Dengan begitu, Pancasila tidak hanya menjelma sebagai sebuah inspirasi estetik dan etik dalam pembangunan nilai, tetapi lebih jauh dapat diformulasikan menjadi rumusan paradigmatik dalam berfikir, memutuskan hinnga bertindak dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baru-baru ini, lewat Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) 2020 Bangka Belitung, sebagian kita telah mempersoalkan kewenangan menafsirkan Pancasila yang dianggap telah diambil alih oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hal yang sama pernah terjadi dan kita hadapi beberapa tahun lalu, tepatnya sewaktu DPR RI mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi Undang-Undang (UU) Tahun 2017 lalu, yang oleh sebagian orang dianngap sebuah upaya memonopoli atau mengambil alih penafsiran atas Pancasila.
Menjadikan “Hak atas Tafsir Pancasila”— sebagai objek diskursus dan perdebatan seperti yang terjadi pada KUII Bangka Belitung yang lalu, tentu tidak terlalu substantif dan tidak juga strategis jika dihubungkan dengan agenda-agenda dan target-target Pemerintah dalam menghidupkan kembali Pancasila secara nyata dalam pentas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adapaun hasrat dan opini sementara orang yang menuntut pelemahan serta pembubaran BPIP dengan alasan dinamika hak dan kewenangan penafsiran atas Pancasila dalam konteks sekarang, agaknya kurang beralasan dan terkesan terburu-buru bahkan tendensius.
Hal tersebut karena substansi kehadiran atau pembentukan BPIP, bukan dilatarbelakangi oleh rendah atau miskinnya pemahaman atas Pancasila atau tafsir Pancasila. Tetapi lebih jauh, didasarkan pada keresahan akan rendahnya komitmen serta kemampuan kita dalam aktualisasi dan membudayakan nilai-nilai Pancasila dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila dapat bergerak dari sekadar selogan dan salam menuju energi, motivasi dan orientasi.
Pancasila masih lebih bersifat doktrinal atau bahkan mitologis di dalam alam pikir sebagian besar kita bahkan saat dikemas dalam rumusan P4. Pancasila belum benar-benar dapat hadir dalam bentuk paradigma nilai dan berfikir untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan naskah, konsep serta dalam pola implementasi peraturan dan perundangan-undangan kita.
Dr. Ahmad Basarah, sebagai salah seorang pakar Pancasila misalnya mengatakan bahwa, Pancasila belum sepenuhnya dapat menjadi dasar dan rujukan bahkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menguji beberapa Peraturan dan dan Perundang-undangan yang ada. Alpanya Pancasila atau nilai-nilai Pancasila dalam naskah-naskah tersebut telah berdampak pada lemahnya posisi Pancasila dalam implementasi seterusnya dalam memformulasikan dampak serta luaran yang ingin diperoleh dari aktualisasi Peraturan dan Perundang-undangan yang ada.
Mengacu pada situasi tersebut, BPIP mestinya didorong agar dapat diperkuat dengan menjadikannya sebagai sentral (pusat) dan rumah bersama warga negara dalam upaya pembinaan Ideologi serta dalam pengawalan aktualisasi setiap nilai untuk setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Penting diingat nilai-nilai yang terkandung dari Pancasila telah digali dari prinsip nilai, filsafat, kearifan budaya serta cita-cita berbangsa dan bernegara, sehingga ada semacam keniscayaan logic agar nilai-nilai itu dapat hidup serta menjiwai segenap etika, konsep, kebijakan, strategi dan pola kerja-kerja menggerakkan pembangunan Bangsa Indonesia demi terwujudnya seluruh cita-cita di masa depan.
Jika alur berpikir ini dapat diterima, maka keinginan melemahkan apalagi membubarkan BPIP justeru bertolak belakang dengan keinginan memastikan pembumian dan penyebarluasan nilai-nilai Pancasila ke seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih jauh, gagasan tersebut secara sadar agau tidak, justeru dapat dilihat sebagai upaya pejoratif terhadap cita-cita pembentukan BPIP.
Untuk itu, kita justeru barharap agar setiap instansi dan lembaga baik pemerintah maupun swasta, dapat hadir secara bersama, menduplikasi semangat yang dimiliki BPIP untuk menjadi sentral dan motor penggerak bagi upaya penghidupan nilai-nilai Pancasila secara abadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Oleh: TGS. Prof. Dr. KH. Saidurrahman, M. Ag
(Rektor & Guru Besar Siyasah Islamiyah UIN Sumatera Utara)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan